Senin

Pendidikan Multikultural: Usaha Menumbuhkan Kemampuan Untuk Menghormati Keragaman

Kemampuan untuk menghormati keragaman dan perbedaan di negara Indonesia yang plural menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar dan harus dimiliki oleh setiap warga negaranya, jika bangsa dan negara ini ingin tetap eksis. Untuk menumbuhkan kemampuan tersebut, jalur pendidikan - baik informal, formal, dan non formal - merupakan media yang sangat strategis. Melalui jalur ini, pendidikan multikultural merupakan tema yang harus diangkat untuk menumbuhkan kemampuan untuk menghormati keragaman. Khususnya dalam pendidikan formal, tema-tema yang terkait dengan pendidikan multikultural dapat dimasukkan ke dalam proses pembelajaran anak baik melalui kegiatan akademik yang terintegrasi ke dalam beberapa mata pelajaran maupun kegiatan non-akademik. Tema-tema tersebut diantaranya seperti tema agama/ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan/kerakyatan, demokrasi dan keadilan sosial

A. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dari berbagai ragam kelompok suku, etnis, budaya, bahasa, agama dan lain-lain. Dengan keragaman tersebut maka bangsa Indonesia dapat dikatakan sebagai bangsa yang mempunyai "multikultural". Di sisi lain, kenyataan bahwa masyarakat Indonesia yang multikultural tersebut dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang diharapkan dapat menjadi "integrating force" yang mampu mengikat keragaman menjadi sebuah kesatuan yang kokoh.

Dalam era Orde Baru, pengelolaan Keragaman Budaya nampaknya dilakukan dengan tangan besi, serta dipaksakan oleh penguasa. Itulah sebabnya mengapa dengan lengsernya Pak Harto, maka dalam era reformasi, tiba-tiba bangsa ini jadi kehilangan kendali, semua menjadi serba boleh dan serba sesukanya. Tidaklah mengherankan jika kita terlatih hanya untuk “mendengarkan kepentingan diri sendiri”, bahkan harus menuntut pemenuhan kebutuhan kita dengan mempersetankan hak orang lain untuk juga dipenuhi kebutuhannya, sehingga kehilangan untuk berempati, dan cenderung menggunakan bahasa kekerasan, dan yang lebih parah lagi, tidak perlu mempertanggungjawabkan apapun yang kita katakan dan lakukan itu, secara pribadi. Bahkan apapun yang dikatakan oleh penguasa, termasuk larangan untuk mencederai hal milik, bahkan hak hidup orang yang kebetulan berbeda dari kita, selalu hanya terlontar sebagai retorika sehingga secara tidak sengaja mengajarkan kepada kita untuk menjadi munafik.

Senada dengan tulisan di atas, Azyumardi Azra mengatakan bahwa dengan berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan keseragaman “mono-kulturalisme” telah memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”. Kecenderungan seperti ini, jika tidak terkendali maka akan menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosial-kultural lebih lanjut, tetapi juga disintegrasi politik.

Merebaknya krisis sosio-kultural dalam masyarakat dapat dilihat dalam berbagai bentuk, misalnya; disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia yang nyaris kebablasan; hilangnya kesabaran sosial dalam menghadapi sulitnya kehidupan menyebabkan masyarakat kita mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan anarkis, masyarakat mulai kehilangan kemampuan untuk berempati, bersopan santun, saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan keragaman. Bangsa kita mulai kehilangan identitas kultural nasional dan lokal; padahal identitas nasional dan lokal sangat diperlukan untuk mewujudkan integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dan negara-bangsa Indonesia.

Untuk dapat mewujudkan dan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang multikultural, maka harus ada upaya yang sistematis, terprogram, terintegrasi dan berkesinambungan. Langkah strategis yang dapat dilakukan salahsatunya adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun non-formal.

B. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah paradigma yang menganggap adanya kesetaraan antar ekspresi budaya yang plural. Multikulturalisme mengusung kesadaran sosial bahwa di dalam ranah kehidupan masyarakat terdapat keragaman budaya. Kesadaran tersebut berdimensi etis yang menuntut tanggungjawab yang terarah pada ortopraksis (tindakan baik dan benar), yang selanjutnya terwujud ke dalam berbagai bentuk penghargaan, penghormatan, perhatian, kasih sayang, cinta, dan pengakuan akan eksistensi terhadap sesama.

Pengertian multikulturalisme yang diberikan para ahli sangat beragam. Multikulturalisme pada dasarnya merupakan pandangan dunia (worldview), yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan kebudayaan, yang menekankan penerimaan terhadap adanya realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multi-kulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia (worldview) yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition”

Karena pengertian multikulturalisme sangat beragam, kemudian konsep dan prakteknya cenderung berkembang, maka Bikhu Parekh membedakan multikulturalisme ke dalam lima macam, yaitu:
1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu kepada kehidupan masyarakat di mana berbagai kelompok kultural yang menjalankan kehidupaannya secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh-contoh kelompok seperti ini adalah masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki Usmani atau masyarakat Amish di Amerika Serikat. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahan-kan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya.

2. Multikulturalisme akomodatif, dalam masyarakat yang plural, mereka yang memiliki kultur dominan membuat penyesuaian-penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme akomodatif ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.

3. Multikulturalisme otonomis, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Concern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme didukung misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok Muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk bisa menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan sebagainya.

4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Karena itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme seperti ini, sebagai contoh, diperjuangkan masyarakat kulit Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.

5. Multikulturalisme kosmopolitan, yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini—yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernist—memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas.

C. Pendidikan Multikultural
Secara sederhana, pendidikan multikultural dapat dimaknai sebagai proses untuk menumbuhkan kemampuan cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan tercabik.

Menurut HAR Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “inter-kulturalisme” seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “inter-kulturalisme” ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke Amerika Serikat dan ke Eropa.

Mempertimbangkan semua perkembangan tersebut, maka pada tahun 1940-an dan 1950-an, di Amerika Serikat berkembang konsep pendidikan “interkultural” dan “inter-kelompok” (inter-cultural and inter-group education). Pendidikan interkultural pada hakikatnya merupakan cross-cultural education untuk mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh berbagai kelompok masyarakat berbeda. Pada tahap pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu untuk tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain-lain.

Tetapi, harus diakui, pada prakteknya pendidikan interkultural lebih terpusat pada individu daripada masyarakat. Lagi pula, konflik dalam skala luas, terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada tingkat masyarakat sehingga dapat benar-benar mengganggu hubungan bersama di antara warga masyarakat negara-bangsa. Sebab itu pula, pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam mengatasi konflik antar golongan dan masyarakat; dan kenyataan inilah pada gilirannya mendorong munculnya gagasan tentang pendidikan multikultural.

HAR Tilaar menyatakan bahwa pendidikan multikultural tidak bertujuan untuk menghilangkan perbedaan akan tetapi menghilangkan prasangka, menimbulkan dialog, mengenal perbedaan sehingga timbul rasa saling menghargai dan mengapresiasi. Dari sini diharapkan akan muncul modal kultural suatu bangsa karena bangsa yang kehilangan modal kultural akan sangat rawan perpecahan. Modal kultural ini lahir dari kekayaan kearifan lokal bangsa yang jika diangkat bisa menjadi kekuatan yang sangat besar. Dalam konteks Indonesia yang dikenal amat majemuk, pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.

Dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya dapat membuat orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan interkultural seperti ini pada akhirnya memunculkan tidak hanya sikap tidak peduli (indifference) terhadap nilai-nilai budaya minoritas, tetapi bahkan cenderung melestarikan prasangka-prasangka sosial dan kultural yang rasis dan diskriminatif. Dan dari kerangka inilah, maka pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti, atau “politics of recognition”, politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.

D. Lembaga Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural sebagai upaya menumbuhkan kemampuan untuk menghormati keragaman budaya memerlukan upaya yang sistematis, terprogram, terintegrasi dan berkesinambungan. Langkah strategisnya dapat diselenggarakan melalui berbagai lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun non-formal.

Secara lebih spesifik, T Raka Joni mengemukakan ada 4 (empat) tataran yang secara terpadu harus dilakukan guna memfasilitasi tumbuhnya kemampuan untuk menghormati keragaman. Empat tataran tersebut adalah:

1. Personal level (tataran personal), melalui pengasuhan (parenting) dalam keluarga yang harus menyemaikan kemampuan serta kebiasaan menghormati keragaman budaya.

2. Organizational level (tataran organisasional), baik pada jalur pendidikan formal, maupun lembaga pemberi kerja (kantor-kantor jawatan, dan perusahaan).

3. Societal level (tataran kemasyarakatan) dalam arti luas, yang seyogyanya selalu harus mengedepankan penghormatan kepada keragaman.

4. System level (tataran sistemik) melalui peraturan perundang-undangan.
Khususnya pada tataran personal, penanaman kesadaran multikultural sejak usia dini dalam masa parenting merupakan langkah yang sangat kreatif dan strategis dalam usaha pengelolaan kemajemukan bangsa. Seperti kata pepatah “belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu” sehingga penghormatan terhadap perbedaan akan melekat sepanjang hayat dalam diri seorang anak manusia.

Secara sederhana memperkenalkan paradigma multikulturalisme pada anak dalam masa pengasuhan dapat dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya dengan cara menyampaikan pesan tentang multikulturalisme dengan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari, atau dengan menyampaikan cerita yang berisi pesan tentang multikulturalisme, antara lain dari dongeng, legenda, dan fabel.

Dalam penelitiannya, Ratnayu Sitaresmi menyimpulkan bahwa fabel atau dongeng binatang sangat mudah dipahami oleh anak, baik simbol bahasa, karakter, perilaku maupun interaksinya. Penilaian dan argumentasi yang kontekstual seperti dikatakan Sitaresmi sangat dibutuhkan dalam membangun paradigma multikulturalisme. Tentu saja diperlukan bantuan penjelasan tentang pengakuan adanya perbedaan yang melingkupi setiap karakter dalam fabel, kesepakatan yang terjadi, serta akibat buruk yang muncul kalau homogenitas dipaksakan menjadi penyelesaian akhir. Hal demikian akan sangat membantu terbentuknya pemahaman tentang paradigma multikulturalisme pada diri anak sejak usia dini.

E. Muatan Pendidikan Multikultural
Pengetahuan multikultural hendaknya dimulai dari pengenalan, penghormatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri (termasuk institusi yang membentuk diri sendiri, seperti keluarga dan lingkungan sosial terdekat).

Sesuai tahap perkembangan anak dan jenjang pendidikan, pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan menjadi pengenalan dan penghargaan terhadap orang lain. Misalnya, pengetahuan tentang berbagai suku, etnis, adat, tradisi, agama, bahasa daerah di satu daerah, di Indonesia, dan di dunia.

Dalam tataran organisasional, khususnya pada jalur pendidikan formal, pendidikan multikultural dapat diterapkan secara integratif ke dalam semua mata pelajaran dan berbagai kegiatan lintas kurikulum. Menurut Anita Lie, sebaiknya wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat oleh guru dan peserta didik.. Muatan nilai, pengetahuan, dan keterampilan multikultural disajikan dalam pembelajaran secara terintegrasi, dan didesain sesuai tahapan perkembangan usia anak didik pada setiap jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai tersebut perlu dirancang dalam suatu strategi proses pembelajaran yang mendorong terjadinya internalisasi nilai-nilai.
Keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan berrmasyarakat yang multikultural diantaranya seperti keterampilan bernegosiasi, keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menghadapi perbedaan, menyelesaikan konflik, bekerjasama, dan sebagainya. Keterampilan seperti ini bisa dimasukkan ke dalam proses pembelajaran anak baik melalui kegiatan akademik yang terintegrasi ke dalam beberapa mata pelajaran maupun ke dalam kegiatan yang bersifat non-akademik.

Tema-tema dasar yang dapat diangkat ke dalam pendidikan multi-kultural adalah tema yang sesuai dengan filosofis dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila. Tema-tema tersebut misalnya tema tentang agama/ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan/kerakyatan, demokrasi dan keadilan sosial.

1. Tema Keberagamaan/Ketuhanan
Tema keberagamaan/ketuhanan dapat diangkat dalam pendidikan multi-kultural sebab:
- Semua agama yang dijadikan sebagai pandangan hidup oleh pemeluknya menjelaskan tentang keberadaan manusia di dunia, menjelaskan arah dan tujuan hidup manusia.
- Agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur kehidupan manusia antara sesama manusia dan juga dengan mahluk Tuhan lainnya. Dengan demikian agama juga terkait erat dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat seperti kekerabatan, kepemimpinan politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga agama bersifat operasional dalam kehidupan sosial manusia. Ada keteraturan dan kedisiplinan yang semestinya ditaati oleh manusia dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa.

2. Tema Kemanusiaan
Tema kemanusiaa yang dapat diangkat dalam pendidikan multikultural misalnya:
- Manusia di dunia ini tidak hidup sendirian, tetapi dikelilingi oleh masyarakatnya, komunitasnya dan alam sekitarnya,
- Secara hakiki manusia mempunyai ketergantungan dengan sesamanya, karena itu mereka harus berusaha memelihara hubungan baik dengan sesamanya atas dasar sama rata dan sama rasa, dan oleh sebab itu mereka harus sedapat mungkin bersifat konform, guyub, berbuat sama dan bersama dengan sesamanya dalam komunitas yang berasas pada jiwa sama tinggi dan sama rendah. Karena itu tema Kemanusiaan; dimaksudkan dapat membentuk sikap peduli dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dengan mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban sesama manusia.

3. Tema Persatuan dan Kesatuan
Dalam tema ini diangkat tentang keharusan mengutamakan keutuhan bangsa, yaitu dengan menciptakan kehidupan yang harmonis antar sesama warga bangsa yang mempunyai keragaman budaya dalam rangka mewujudkan bangsa yang bersatu.

4. Tema Kerakyatan
Salah satu bentuk budaya masyarakat Indonesia diantaranya adalah budaya musyawarah dan mufakat. Nurkholis Madjid memformulasikan elemen musyawarah sebagai faktor yang mampu menciptakan “harmoni ummat” secara hakiki. Musyawarah mengundang partisipasi yang ‘egaliter’ dari semua anggota masyarakat, sekalipun dalam kenyataan akan terdapat variasi pelaksanaan teknisnya. Tema Kerakyatan diharapkan dapat membentuk sikap yang demokratis, terbuka terhadap keragaman, menghargai aspirasi orang lain, menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dalam mewujudkan masyarakat pluralis yang damai dan bermartabat.

5. Tema Keadilan
Pengakuan terhadap pluralitas budaya merupakan suatu keadaran untuk mengurangi batas atau sekat-sekat budaya dan itu bisa terwujud apabila proses transpormasi antar budaya dibangun dengan citra dan cita-cita yang penuh persahabatan dan perdamaian. Tema Keadilan, dimaksudkan dapat membentuk sikap empati terhadap orang lain serta memiliki kepekaan sosial terhadap sesama manusia, merasa sama dan sederajat dalam hubungan sosial dan anti terhadap diskriminasi atau marjinalisasi.

F. Tantangan Pendidikan Multikultural
Anita Lie menyebutkan bahwa pendidikan multikultural di Indonesia, khususnya dalam pendidikan formal, menghadapi tiga tantangan mendasar sebagai berikut:
Pertama, fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam UU No 20/2003 membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan menerima siswa tidak seagama. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka.

Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum. Penelitian Lie pada tahun 2001 atas kurikulum 1994, dengan menganalisis isi 823 teks bacaan dalam 44 buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di SMA berdasar jender, status sosio-ekonomi, kultur lokal, dan geografi. Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini masih menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural peserta didik.

Ungkapan You are what you read (Anda dibentuk oleh apa yang Anda baca) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahan-bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku), maka siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda. Keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara diakomodasi dalam kurikulum hanya sebatas ikon dan simbol budaya seperti pakaian, kesenian daerah, dan stereotip suku.

Tantangan terakhir dan terpenting adalah guru. Kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar apalagi untuk mengelola pembelajaran multikulturalisme.
Oleh sebab itu, untuk melaksanakan pendidikan multikultural, banyak pekerjaan rumah yang harus digarap mulai dari rancangan integrasi kurikulum, standardisasi buku dan materi, pengembangan materi dan kurikulum, pengembangan profesional dan pelatihan guru, rancangan kegiatan, hingga rancangan monitoring dan evaluasi.

G. Penutup
Negara Kesatuan Indonesia, sebagai sebuah negara yang berdiri di atas keanekaragaman suku, etnis, budaya, bahasa, agama dan lain-lainnya meniscayakan pentingnya pemahaman, penerimaaan dan penghormatan akan adanya keberagaman tersebut bagi seluruh rakyatnya. Dengan multi-kulturalisme maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara kita akan menjadi tetap terpelihara dengan baik. Keaneka-ragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Mengingat pentingnya pemahaman multikulturalisme dalam menjaga keutuhan bangsa, maka diperlukan upaya-upaya konkrit untuk mewujudkan-nya, diantaranya melalui pendidikan multikultural. Kita perlu menyebar-luaskan pemahaman multikulturalisme terhadap anak-anak, generasi muda, dan masyarakat mulai dari tataran personal, organisasional, kemasyarakatan, dan perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. (2002). Identitas Dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia. ttp://www.kongresbud.budpar.go.id/58%20 azyumardi%20azra.htm. Diakses pada tanggal 1 Juni 2008
Darnela, Lindra. (2006). Pembelajaran Multikultural: Belajar dari Pengalaman. http://syariah.uin-suka.ac.id/file_ilmiah/Pembelajaran%20Multikultural, %20Belajar%20Dari%20Pengalaman.pdf. Diakses pada tanggal 8 Juni 2008
Joni, T Raka. (2008). Nurturing Cultural Diversity Competence in Indonesia. Paper presented at the 5th Congress of the Asia Pacific Association of Psychotherapists. Four Seasons Hotel, Jakarta.
La Belle, Thomas J & Christopher Ward. (1994). Multiculturalism and Education, Albany: SUNY Press.
Lie, Anita. (2006). Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural. http:// 64.203.71.11/kompas-cetak/0609/01/opini/2921517.htm. Diakses pada tanggal 8 Juni 2008
Madjid, Nurkholis. (1997). Masyarakat Religius. Paramadina. Jakarta
Parekh, Bikhu, (1997), “National Culture and Multiculturalism”, http://catalogue. nla. gov.au/Record/72038#details. Diakses pada tanggal 7 Juni 2008
Tilaar, HAR. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo.
Taylor, Charles et al. (1994). Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Princeton: Princeton University Press.
Sitaresmi, Ratnayu. (2003). Fungsi Fabel untuk Pendidikan Multikultural. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0207/31/Daerah/nime28.htm. Diakses pada tanggal 7 Juni 2008
Suparlan, Parsudi. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm. Diakses pada tanggal 1 Juni 2008
DITULIS OLEH: HIDAYAT MA'RUF

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih pak hidayat, tulsan ini membantu saya memahami multikultural. eh saya tunggu tulisan yang lain ya? masih sempat nuliskan?

Y.Novitasari mengatakan...

terimakasih tulisannya sangat bermanfaat..