Menurut
EYD, kata yang ditulis di antara tanda petik bisa mempunyai makna yang khusus (mengandung
makna lain, bukan bermakna yang sesungguhnya). “Artis” Kampus yang dimaksudkan
dalam tulisan ini tidak bermakna seniman (artist)
bintang film, pemain komedian, penyanyi, dan sejenisnya yang berada di kampus,
tetapi seseorang yang dapat menjadi role
model, seseorang yang sikap dan perilakunya menjadi contoh, panutan para
mahasiswa, artis yang dimaksud di sini adalah dosen. Penulis memadankan kata
artis dan dosen dikarenakan seorang dosen mempunyai pengaruh yang begitu besar
terhadap mahasiswanya, termasuk dalam hal mempengaruhi sikap dan perilaku
mahasiswa.
Meskipun akhir-akhir ini corak pendidikan
lebih berorientasi kepada kompetensi siswa/mahasiswa (student oriented),
namun kenyataan ini tidak mengurangi arti dan peran penting seorang guru/dosen
dalam proses pendidikan. Malik Fadjar (2005) dalam bukunya yang berjudul
“Holistika Pemikiran Pendidikan”, menegaskan bahwa guru/dosen menempati posisi
sentral dalam mengejawantahkan dan melahirkan sumber daya manusia (SDM)
berkualitas di negeri ini. Senada dengan pernyataan Malik Fadjar, dalam bahasa
Arab, posisi sentral dan peran strategis seorang guru/dosen dinyatakan sebagai
berikut: “al-Thariqah ahammu min al-maddah, wa lakin al-mudarris ahammu min
al-thariqah”, maksudnya; metode pembelajaran lebih penting daripada materi
belajar, tetapi keberadaan guru/dosen dalam proses pembelajaran jauh lebih
penting daripada metode pembelajaran (Fathani, 2011).
Pendidikan karakter tidak akan berhasil kalau orang yang mendapat amanah untuk mendidik karakter bukanlah orang yang berkarakter. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus dimulai dari dosen yang berkarakter. Dosen sebagai pendidik bukan saja bertanggungjawab atas pemerolehan pengetahuan mahasiswanya, tetapi juga bertanggungjawab menanamkan karakter di hati dan perilaku mahasiswa. Kalau dosen mengajarkan sopan santun, kejujuran, dan nilai-nilai positif lainnya, maka dia harus terlebih dahulu dapat memberikan contoh dalam tingkahlaku nyata untuk berbuat sopan dan santun, jujur, dan mempraktekkan nilai-nilai positif lainnya. Cara dosen menyelesaikan masalah dengan adil, menghargai pendapat dan mengkritik orang lain dengan santun, merupakan perilaku yang secara alami dijadikan model oleh para mahasiwa. Tidak ada kekuatan yang lebih besar dari seorang dosen dalam menanamkan karakter pada para mahasiswa tanpa dia menjadikan dirinya sebagai model, teladan atau panutan.
Pendidikan karakter tidak akan berhasil kalau orang yang mendapat amanah untuk mendidik karakter bukanlah orang yang berkarakter. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus dimulai dari dosen yang berkarakter. Dosen sebagai pendidik bukan saja bertanggungjawab atas pemerolehan pengetahuan mahasiswanya, tetapi juga bertanggungjawab menanamkan karakter di hati dan perilaku mahasiswa. Kalau dosen mengajarkan sopan santun, kejujuran, dan nilai-nilai positif lainnya, maka dia harus terlebih dahulu dapat memberikan contoh dalam tingkahlaku nyata untuk berbuat sopan dan santun, jujur, dan mempraktekkan nilai-nilai positif lainnya. Cara dosen menyelesaikan masalah dengan adil, menghargai pendapat dan mengkritik orang lain dengan santun, merupakan perilaku yang secara alami dijadikan model oleh para mahasiwa. Tidak ada kekuatan yang lebih besar dari seorang dosen dalam menanamkan karakter pada para mahasiswa tanpa dia menjadikan dirinya sebagai model, teladan atau panutan.
Menurut
teori belajar sosial (Social Learning Theory) sebagaimana yang
dikemukakan oleh Bandura, perilaku manusia diperoleh melalui cara pengamatan
terhadap model. Dari pengamatan tersebut, terbentuklah
ide dan perilaku-perilaku baru yang digunakan sebagai arahan untuk bereaksi
terhadap lingkungan sekitarnya. Seseorang cenderung belajar dari contoh apa
yang dikerjakan orang lain, atau setidaknya mendekati bentuk perilaku tersebut.
Sehubungan
dengan peran yang sangat urgent dari seorang dosen sebagai model/teladan bagi para
mahasiswa, menurut Nurchaili
(2011), maka hal-hal yang harus dilakukan dosen
diantaranya:
1) Meneladani Rasulullah Saw sebagai teladan seluruh alam
Sebagaimana termaktub
dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya: ”Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”.
2) Memahami prinsip-prinsip keteladanan
Mulailah dengan prinsip
ibda’ binafsik, yaitu dari diri sendiri. Dengan demikian dosen tidak hanya pandai bicara dan mengkritik tanpa pernah
menilai dirinya sendiri. Bercermin pada filosofi ”gayung mandi”, dalam mendidik
karakter dosen jangan seperti gayung mandi. Gayung digunakan untuk mandi
bertujuan membersihkan, tapi ia sendiri tidak pernah mandi atau membersihkan
dirinya sendiri. Artinya dosen harus mempraktikkannya terlebih dahulu sebelum mengajarkan
karakter kepada mahasiswanya.
3) Mengetahui tahapan pendidikan karakter
Karakter merupakan integritas
dari pengetahuan tentang kebaikan, mau berbuat baik, dan dibuktikan dalam
tindakan nyata berperilaku baik. Oleh karena itu, menurut Lickona (2004),
pendidikan karakter dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan yaitu: Knowing
the good (mengetahui kebaikan), desiring the good (mencintai
kebaikan), dan doing the good (melakukan kebaikan).
Knowing the good, merupakan
tahap memberikan pengetahuan tentang karakter. Pada tahapan ini dosen berusaha mengisi akal, rasio dan logika siswa sehingga siswa
mampu membedakan karakter positif (baik) dengan karakter negatif (tidak baik).
Siswa mampu memahami secara logis dan rasional pentingnya karakter positif dan
bahaya yang ditimbulkan karakter negatif. Desiring the good, merupakan
tahap mencintai dan membutuhkan karakter positif. Pada tahapan ini dosen berusaha menyentuh hati dan jiwa siswa bukan lagi akal, rasio dan
logika. Diharapkan pada tahapan ini akan muncul kesadaran dari hati yang paling
dalam akan pentingnya karakter positif, yang pada akhirnya akan melahirkan
dorongan/keinginan yang kuat dari dalam diri untuk mempraktikkan karakter
tersebut dalam kesehariannya. Doing the good, pada
tahapan ini dorongan/keinginan yang kuat pada diri mahasiswa
untuk mempraktikkan karakter positif diwujudkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan didasarkan atas kesadarannya, mahasiswa
terdorong untuk berperilaku menjadi lebih santun, ramah, penyayang, rajin,
jujur, dan semakin menyenangkan, menyejukkan siapapun yang melihat dan
berinteraksi dengannya.
4) Mengetahui metode
pendidikan karakter
Diantaranya
adalah metode inculcation (inkulkasi/penanaman). Inkulkasi berbeda dengan
indoktrinasi (indoctrination/pengisian) yang terkesan lebih memaksakan
nilai-nilai yang diinginkan untuk diterima oleh orang lain. Karena dengan
metode ini, mahasiswa dapat menerima pentingnya karakter baik dengan logikanya
dan dirinya akan merasa lebih dihargai sebagai manusia. Zuchdi, dkk (2010)
menyebutkan bahwa inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri diantaranya
sebagai berikut:
- Mengkomunikasikan
nilai-nilai kebaikan dengan disertai alasan.
- Memperlakukan didik
dengan adil.
- Menghargai pandangan
atau pendapat, dan tetap menjalin komunikasi terhadap
pendapat yang berbeda.
- Membuat aturan,
memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi disertai
alasan;
Oleh: Hidayat Ma’ruf
SUMBER RUJUKAN
Fadjar, A. Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Fathani, Abdul Halim. 2011. Guru Berkarakter dan Masa Depan Indonesia. http://suaraguru.wordpress.com/2011/11/29/guru-berkarakter-dan-masa-depan-indonesia/. Diakses pada tanggal 23 September 2012
Lickona,
Thomas. 2004.
Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment,
Integrity, and Other Essential Virtues. New York Simon & Schusters,
Inc.
Nurchaili. 2011. Keteladanan Guru dan Pendidikan Karakter. http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=196649:keteladanan-guru-dan-pendidikan-karakter&catid=25:artikel&Itemid=44. Diakses tanggal 23 September 2012
Zuchdi,
Darmiyati, dkk. 2010. Pengembangan Model Pendidikan karakter Terintegrasi dalam
Pembelajaran Bidang Studi di Sekolah Dasar. Jurnal Cakrawala Pendidikan.
Th. XxiX . Edisi Khusus Dies Natalies UNY. Mei 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar