Kampus terbaik ke 2 sedunia,
Harvard University di Amerika Serikat baru-baru ini merasa malu besar disebabkan
oleh ratusan mahasiswa S.1 nya telah melakukan perbuatan yang aib, yaitu tidak
berlaku jujur, telah mencontek saat ujian akhir semester berlangsung. Menyikapi
kasus tersebut, Dewan Pendidikan Kampus yang langsung dipimpin oleh Rektor Harvard
University menginterogasi ratusan mahasiswa tersebut. Atas peristiwa tersebut, Jay
Harris, Rektor Harvard University menyatakan bahwa ada persoalan etika yang tidak dimiliki generasi masa kini [1].
Etika, istilah yang seringkali
disebut pula dengan moral, akhlak, watak, tabiat, dan karakter, di Indonesia saat
ini sedang menjadi sorotan dan ramai dibicarakan karena sudah mulai tercerabut
dari masyarakatnya. Bangsa
Indonesia akhir-akhir ini mengalami patologi (penyakit) sosial yang kronis.
Sebagian masyarakatnya tercerabut dari peradaban ketimuran yang terkenal dengan
wataknya yang santun, toleran, bermoral, dan beragama[2]. Tindak kekerasan, korupsi, manipulasi,
konflik, tingginya kenakalan dan kurangnya sikap sopan santun para remaja, berbohong,
menyontek, dan aktivitas negatif lainnya sudah mulai menjadi hal yang biasa dalam
masyarakat, termasuk pula dalam lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia.
Penyebab
terjadinya dekadensi moral seperti yang disebutkan di atas, antara lain
disebabkan pendidikan karakter bangsa yang masih “amburadul”, diperparah lagi oleh kurangnya perhatian para pendidik terhadap pendidikan dan perkembangan
karakter peserta didik. Pendidikan di Indonesia saat ini lebih
mengedepankan penguasaan aspek keilmuan ketimbang aspek pendidikan dan
pembinaan karakter. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang didapatkan dalam
pendidikan karakter, moral atau etika di lembaga-lembaga pendidikan saat ini agak
terabaikan. Seperti kata Marvin Berkowitz[3], bahwa kebanyakan orang
mulai tidak memperhatikan lagi bagaimana pendidikan itu dapat berdampak
terhadap perilaku seseorang. Itulah cacat terbesar dalam dunia pendidikan,
gagal untuk menghadirkan generasi anak-anak bangsa yang berkarakter kuat.
Kegagalan pendidikan di Indonesia dalam menghadirkan generasi yang
berkarakter, berakhlak mulia, diantaranya karena sistem pendidikan nasional
belum mempunyai kurikulum dan model
pendidikan karakter yang kuat, baik dalam
bentuk tertulis maupun dalam
bentuk yang tersirat (hidden) pada kurikulum, atau yang terintegrasi
pada masing-masing mata pelajaran/mata kuliah.
Memang, sistem pendidikan nasional sudah mempunyai mata pelajaran/mata kuliah tentang pengetahuan karakter, moral atau
etika yang tertuang dalam berbagai mata pelajaran/mata kuliah seperti pelajaran
Agama, Pendidikan Akhlak, Kewarganegaraan, Pancasila, dan yang sejenisnya,
namun dalam proses pembelajaran yang dilakukan hanya sebatas hafalan dan
pembekalan pengetahuan, belum begitu menyentuh aspek sikap dan perilaku
konkrit, sehingga kurang bisa mengubah
karakter yang masih dalam bentuk sebatas pengetahuan terwujud dalam perilaku konkrit yang baik.
Disisi lain, Anis Matta menyatakan bahwa
terjadinya krisis karakter antara lain disebabkan pula oleh: a) Hilangnya
model-model kepribadian yang integral, yang memadukan keshalihan dengan
kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, kekayaan dengan kedermawanan, kekuasaan
dengan keadilan, kecerdasan dengan kejujuran, dan b) Munculnya antagonisme
dalam pendidikan moral, sementara sekolah mengembangkan kemampuan dasar
individu untuk menjadi produktif, sementara itu pula media massa mendidik
masyarakat menjadi konsumtif[4].
Dalam
perspektif Islam, karakter (akhlak) menjadi perhatian yang tinggi. Diutusnya
Rasulullah Muhammad Saw antara lain adalah untuk memberangus perilaku jahilliyyah
umat manusia, membangun peradaban manusia dengan karakter atau akhlak yang
mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ [5]
Artinya:
“Sesungguhnya aku diutus (menjadi
Rasul) semata mata untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Selanjutnya,
karakter atau akhlak yang mulia menjadi salah satu indikator kesempurnaan iman
seorang mukmin. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ
لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا[6]
Artinya: “Orang mukmin
yang paling sempurna keimanannya adalah ia yang memiliki akhlak terbaik. Yang terbaik di
antara kalian adalah yang terbaik akhlaknya kepada pasangannya”
Di negara Indonesia, Pembangunan
karakter merupakan perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945,
dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini,
diantaranya: Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi
bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa. Untuk itu, Pemerintah menjadikan
pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional.
Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter
ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu
mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila[7]
Pembangunan
karakter generasi bangsa menjadi tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana yang
termaktub dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab.
Dengan demikian, jelas bahwa pendidikan di
Indonesia pada hakekatnya adalah mengembangkan potensi diri peserta didik
menjadi mampu dengan dilandasi keimanan dan ketaqwaan, kepribadian, akhlak
mulia, dan kemandirian. Oleh karena itu, lembaga pendidikan, termasuk Perguruan
Tinggi, mempunyai peran yang strategis dalam membangun karakter peserta didik
agar menjadi generasi bangsa yang unggul dan berkarakter.
KONSEP KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Ditinjau dari makna leksikal, kata karakter berarti: Bawaan, hati,
jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak[8]. Sedangkan dari sisi terminologi, istilah karakter didefinisikan dengan
berbagai formulasi kalimat yang berbeda-beda, namun substansinya hampir sama.
Salah satu definisi karakter adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Suyanto, yang
menyatakan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara[9].
Karakter lebih berkonotasi positif, bukan
“netral”. Istilah karakter sering dihubungkan dengan istilah etika, akhlak atau
nilai dan berkekuatan moral. Karakter juga sering diasosiasikan dengan istilah
temperamen yang lebih memberi penekanan pada definisi psikososial yang dihubungkan
dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Sedangkan karakter dilihat dari sudut
pandang behaviorial lebih menekankan pada unsur somatopsikis yang dimiliki
seseorang sejak lahir[10]. Proses perkembangan
karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang khas baik faktor
bawaan (nature) maupun faktor lingkungan (nurture) dimana orang
yang bersangkutan tumbuh dan berkembang
Menurut Musfiroh,
karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),
motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Orang yang berkarakter adalah
orang yang berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat, dan berwatak[11]. Seseorang yang
berkarakter baik tentunya mempunyai pikiran yang baik (thinking the good),
memiliki perasaan yang baik (feeling the good), dan juga berperilaku
baik (acting the good). Dengan kata lain, berkarakter yang baik adalah
harmoninya antara knowing the good, desiring the good, dan doing
the good[12]. Karakter
dimaknai sebagai integritas dari pengetahuan tentang kebaikan, mau berbuat
baik, dan dibuktikan dalam tindakan nyata berperilaku baik. Jadi, Secara
teoritis, karakter seseorang dapat diamati dari tiga aspek, yaitu: mengetahui
kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan.
Pendapat Lickona di atas, sesungguhnya sudah terdapat dalam ajaran
Islam. Jika memperhatikan pendapat Lickona di atas, terlebih lagi jika
memperhatikan Hadits Nabi Saw sebelumnya yang menyatakan bahwa orang mukmin
yang paling sempurna keimanannya adalah ia yang memiliki karakter/akhlak terbaik, maka berkarakter baik, khususnya
bagi orang yang beriman, merupakan manifestasi dan buah keimanannya. bukankah
iman didefinisikan sebagai: عَقْدٌ بِالْقَلْبِ, إِقْرَارٌ بِاللِّسَانِ , dan عَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter yang baik kepada warga
sekolah/kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter hakikatnya bukan sekedar
mengajarkan mana yang baik dan mana yang benar, namun lebih dari itu,
pendidikan karakter seharusnya dapat menanamkan kebiasaan (habituation) tentang
hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif),
mampu merasakan (afektif) nilai-nilai kebaikan dan menjadi terbiasa
melakukannya (psikomotorik).
Proses pembentukan dan pembiasaan
karakter menjadi tanggungjawab lembaga pendidikan secara formal setelah pendidikan
informal di lingkungan keluarga. Pendidikan karakter di lembaga pendidikan
bukan lagi sebagai sebuah pilihan, namun merupakan suatu keharusan yang tak
boleh dihindarkan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta
didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan ilmu pengetahuannya,
mengkaji, menghayati serta mengimplementasikan nilai-nilai karakter atau akhlak
mulia dalam perilaku kehidupannya sehari-hari.
Dalam pendidikan karakter, semua faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya karakter harus dilibatkan. Meskipun menurut
kacamata teori sosiologi dan psikologi, keluarga adalah pembentuk karakter yang
utama dan pertama, namun demikian, lembaga pendidikan formal, termasuk
Perguruan Tinggi, juga ikut bertanggungjawab dan berperan penting dalam
pembentukan karakter peserta didiknya.
SEKILAS TENTANG TAHAPAN PERKEMBANGAN ANAK DAN
PENGASUHAN YANG MEMPENGARUHI TERBENTUKNYA KARAKTER
Rentang tahapan
perkembangan manusia memiliki fase yang cukup panjang. Agar mudah dipahami,
dibuatlah klasifikasi tahapan/periode perkembangan yang ummunya meliputi urutan
sebagai berikut: Periode pra kelahiran, masa bayi, masa awal anak anak, masa
pertengahan dan akhir anak anak, masa remaja, masa awal dewasa, masa
pertengahan dewasa dan masa akhir dewasa.
Karena luasnya
pembicaraan tentang tahapan perkembangan manusia, maka pada tulisan ini hanya
disajikan secuil tentang tahapan perkembangan penting manusia yang dari periode
pra kelahiran (dalam kandungan) sampai sekitar masa akhir anak-anak (usia kira
kira 6 hingga 11/12 tahun, atau setara dengan usia sekolah dasar).
a. Periode
dalam kandungan
Allah
SWT berfirman:
يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ
فِي ظُلُمَاتٍ ثَلا ثٍ ذَلِكُمُ اللَّهُ
رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
Artinya: “...
Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang
mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka
bagaimana kamu dapat dipalingkan?" (QS Az-Zumar: 6).
Rasulullah SAW
bersadda:
إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ
يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ
مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ
الرُّوْح... )رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَالمُسْلِم(
Artinya:
“Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam
perut ibunya
selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian
menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah
(segumpal daging) seperti itu pula.
Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya…
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Ayat di atas ini menunjukkan bahwa
seorang manusia diciptakan dalam tubuh ibunya dalam tiga tahapan yang berbeda.
Menurut perspektif sains modern, dijelaskan pula bahwa proses kejadian manusia
juga terjadi dalam tiga fase, yaitu: Fase zigot: sejak konsepsi hingga akhir
minggu ke-2, fase embrio: akhir minggu ke-2 hingga akhir bulan ke-2, dan fase
janin: akhir bulan ke-2 hingga kelahiran.
Sains modern mendapatkan informasi
perkembangan manusia dalam rahim setelah melakukan pengamatan dengan
menggunakan peralatan modern. Namun dalam Islam, informasi demikian sudah ada
dalam Al Qur'an. Fakta bahwa informasi
yang begitu rinci dan akurat dalam Al
Qur'an merupakan bukti nyata bahwa Al Qur'an bukanlah ucapan manusia tetapi Firman
Allah.
Selanjutnya, berdasarkan hadits di atas,
sebagian besar para ulama kemudian berpendapat bahwa ruh ditiupkan pada saat
janin berusia 120 hari (4 bulan) sejak pertama kali janin terbentuk. Inilah
pendapat yang paling umum
dipegang oleh para ulama, walau sebagian kecil lainnya melihat ada dalil lain
yang tidak sama.
Berdasarkan
perspektif sains modern, pada usia 120 hari (sekitar minggu ke 18), janin sudah
bisa mendengar. Ia pun bisa terkejut bila mendengar suara keras. Mata bayi pun
berkembang. Ia akan mengetahui adanya cahaya jika kita menempelkan senter yang
menyala di perut. Bayi sudah bisa melihat cahaya yang masuk melalui dinding
rahim ibu.
Pada masa kehamilan, kondisi emosi orangtua (khususnya
emosi ibu yang sedang mengandung), sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan janinnya. Ibu hamil yang merasa gelisah, tertekan atau ketakutan,
hormon stress dengan sendirinya mengalir melalui aliran darah dan mengenai
plasenta sang bayi. Stress bisa mengaktifkan sistem kelenjar endokrin
dari tubuh sang cabang bayi dan ini akan mempengaruhi perkembangan otaknya.
Seorang anak yang terlahir dari rahim seorang ibu yang mengalami stress
berlebihan semasa kehamilan sangat mungkin memiliki kelainan perilaku dalam
kehidupannya nantinya[13].
Saat sang ibu hamil
merasa gembira, maka tubuhnya memproduksi zat kimia alami, endorfin dan encephalin.
Ibu merasakan ketenangan dan kedamaian, tubuhnya akan menghasilkan reaksi kimia
yang serupa dengan resep obat penenang. Tanpa stress, sistem syaraf kejang dari
janinnya akan bekerja sangat pelan, janin Anda akan tumbuh dan berkembang dalam
keadaan penuh damai.
Menjaga kestabilan emosi
ibu yang sedang mengandung sangat diperlukan, sebab positif dan negatifnya
emosi ibu sangat berpengaruh terhadap positif dan negatifnya pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan.
Oleh karena itulah, ibu
yang sedang mengandung seharusnya semakin mendekatkan diri kepada Allah agar
emosinya tenang dan selalu terkontrol.
أَلا
بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya: “Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram" (QS Ar Ra'd:28)
Semenjak dalam
kandungan, interaksi yang dilakukan orang tua baik secara
fisik, emosi, maupun sosial sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan.
Ada beberapa cara untuk berinteraksi yang dapat
dilakukan orang tua terhadap janinnya, tentu hal ini sebelumnya
dengan mengetahui pertumbuhan dan perkembangan pembentukan indera-indera janin,
sehingga interaksi dapat dilakukan dengan tepat. Voice of Islam[14], pada tanggal 20 April
2010 melalui situsnya menuliskan beberapa tip berkomunikasi dengan janin, yaitu
sebagai berikut:
1) Indera Peraba
Indera Peraba ini
berkembang sebelum minggu ke 8. Ketika janin bergerak dan telapak tangan atau
kakinya tampak pada perut ibu, sentuhlah dia, berikan perasaan lembut dan kasih
sayang kepadanya, sehingga ia merasakan kelembutan, rasa cinta dan kasih sayang
dari orangtuanya. Rasa cinta dan kasih sayang dari orangtua yang dia rasakan
akan memberikan ketenangan pada janin anda.
2) Indera Pendengaran
Indera pendengaran
mulai berkembang pada minggu ke 8 dan selesai pembentukan pada minggu ke 24.
Indera pendengaran ini juga dibantu oleh air ketuban yang merupakan penghantar
suara yang baik. Janin akan mulai mendengar
suara aliran darah melalui plasenta, suara denyut jantung dan suara udara dalam
usus. Selain itu janin akan bereaksi terhadap suara-suara keras, bahkan bisa
membuat janin terkejut melompat.
Pada minggu ke 25 janin
sudah dapat mendengar dan mengenali suara orang-orang terdekatnya seperti ibu
dan ayahnya. Lakukanlah komunikasi dengannya meskipun hanya satu arah,
bertilawah quranlah, bacakan cerita atau berbicalah dengan janin untuk
lebih mendekatkan diri janin dengan orangtuanya dan lebih mengenal suara dari
orangtuanya. Bahkan orangtua yang sedang marah akan memberikan reaksi marah
pula pada janin, sebaliknya alunan tilawah Al-Qur'an yang lembut dapat
menenteramkan janin.
Sebagai salah satu bukti bahwa janin dapat berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya (lingkungan di luar rahim ibunya), dapat dilihat pada http://www.youtube.com/watch?v=SayHSDO6wF8 yang
telah di upload oleh ainheartz pada bulan tanggal 2 Mei 2010. Melalui USG (ultrasonography),
dapat dilihat bagaimana reaksi janin (yang menjadi tenang dan bahkan bersujud)
saat diperdengarkan ayat-ayat suci Al Qur’an.
3) Indera Perasa
Indera perasa janin
akan terbentuk pada minggu ke 13-15. Pada usia ini janin dapat merasakan
substansi yang pahit dan manis. Jika, cairan ketuban yang dia rasakan manis,
maka dia akan meminumnya dan menelannya. Namun jika air ketuban yang dia
rasakan terasa pahit, janin akan meronta dan mengeluarkannya, serta janin akan
menghentikan konsumsinya tsb..
4) Indera Penciuman
Indera penciuman akan
terbentuk pada usia kehamilan 11-15 minggu. Ketika indera penciuman ini
terbentuk, janin dapat mencium dari bau air ketuban yang baunya mirip seperti ibunya.
Makanya ketika bayi terlahir, dalam beberapa jam ia akan mengenali siapa ibunya
berdasar dari indera penciuman ini.
5) Indera Penglihatan
Dari awal kehamilan
hingga usia ke 26 mata bayi akan selalu tertutup untuk memproduksi retina,
namun meskipun demikian retina janin pada usia kehamilan 16 minggu dapat
mendeteksi adanya pancaran sinar.
Pada usia kehamilan
di minggu 27, janin mulai membuka matanya dan melihat ke sekelilingnya
untuk pertama kalinya. Mata janin dapat menangkap cahaya yang masuk ke dalam
rahim ibunya, baik itu sinar matahari atau sinar lampu. Selain itu otak janin
akan bereaksi terhadapa kelap-kelip cahaya.
Jadi, janin dapat
bereaksi terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar bahkan dalam tubuh
ibu. Oleh karena itu sudah seharusnya lingkungan tempat tinggal, tingkah laku
dan tutur kata ibu yang tengah mengandung harus selalu dijaga. Segala sesuatu
yang dilihat dan didengar sendiri, baik itu perasaan suka, marah, sedih dan
senang, sudah pasti memberi pengaruh bagi perkembangan si janin.
Menurut psikolog perkembangan, Harold I Kaplan,
Benjamin J Sadock, dan Jack A Grebb[15], menstimulasi otak bayi
bisa dilakukan sejak usia 18-20 minggu kehamilan. Bahkan, menurut aliran
homunculus -muncul pada abad pertengahan- bayi memiliki perkembangan psikologis
dan biologis sejak terjadi konsepsi (proses pertemuan sel sperma dan sel
telur). Karena itu, bayi yang belum lahir sekalipun mulai bereaksi terhadap
rangsangan dari luar.
Sebagai contoh, janin pada trimester awal memiliki tingkah laku spontan
yang berulang ? biasa disebut habituasi- misalnya menghisap ibu jari. Atau hal
lainnya, dia bisa menyesuaikan diri dengan suara luar dengan respon berupa
kontraksi otot, pergerakan dan perubahan denyut jantung.
Sementara berdasarkan teori psikogenesis,
otak bayi melesat pada usia trimester kedua. Alhasil, bayi bisa mengingat
situasi yang dialami oleh ibunya. Misalnya saja, ibu
kandung melakukan hal yang kurang baik saat hamil seperti berkata kasar. Nah,
meski kelak si bayi tidak dirawat oleh ibu kandungnya, karena sang ibu
meninggal, dia tetap bisa berkata kasar karena mengingat apa yang dilakukan
ibunya selama mengandungnya
b. Periode
Bayi dan Masa
Kanak-Kanak
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم : مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ... )رَوَاهُ المُسْلِم(
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Setiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi
seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi...” (HR. Muslim)
Berbagai riset
membuktikan ternyata perilaku anak itu asalnya didominasi dari pola asuh
orangtua. Orangtua merupakan model (contoh) hidup
yang akan ditiru oleh anaknya. Jika orangtua menginginkan anaknya menjadi
seorang anak yang shaleh, maka perilaku keshalehan tersebut harus terlebih
dahulu dicontohkan oleh orangtuanya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menyajikan beberapa
hal penting yang harus diperhatikan oleh orangtua saat
berinteraksi/berkomunikasi dengan anak-anaknya.
1) Ciptakan persepsi yang positif terhadap
anak kita
Hadits qudsi riwayat dalam Shahih Al Bukhari:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ
عَبْدِيْبِيْ فَلْيَظُنَّ بِيْ مَا شَاءَ
Artinta: “Aku (Allah)
tergantung pada prasangka hamba-Ku, maka berprasangka-lah kepada-Ku
semaunya”
Hadist qudsi di atas memberikan gambaran
bahwa prasangka (dalam hal ini persepsi) dapat mempengaruhi bentuk respon orang
yang kita persepsei. John Kehoe dan Nancy Fischer
dalam
bukunya yang berjudul Mind Power for Children[16], menyatakan bahwa masa kecil adalah
pembentukan konsep-konsep diri, citra diri, dan kecenderungan-kecenderungan
pada manusia. Diakui atau tidak, perbedaan karakter, kebiasaan, selera, dan
terlebih lagi persepsi-persepsi kita tentang kehidupan dipengaruhi oleh masa
kecil kita. Ajaibnya, Semuanya dibentuk bukan lewat
toturial, melainkan diawali oleh pikiran dan persepsi orangtua terhadap
anaknya.
Persepsi kita terhadap anak-anak
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap cara kita memperlakukan mereka,
cara kita bicara dan bersikap terhadap mereka. Selanjutnya, tanpa kita sadari
hal demikian juga akan menular pada anak-anak kita. Sebagai contoh, ketika kita
kesal terhadap anak-anak saat mereka ribut, wajah kita berubah kusut, suara
kita agak meninggi, dan mungkin meledak jika tidak terkontrol. Maka anak-anak
pun akan merasakan ketidak nyamanan itu secara otomatis.
Pikiran adalah kekuatan paling
dahsyat. Demikian pula dalam dunia anak-anak, segala bentuk pikiran yang terlintas
dalam pikiran mereka setiap hari akan mempengaruhi semua aspek kehidupan
mereka. Sikap, pilihan, kepribadian dan siapa mereka sebagai individu adalah
produk dari pikiran-pikiran tersebut.
2) Hati-hati dengan kata-kata yang
dikeluarkan
Hadits Riwayat Bukhari, dalam Shahih Bukhari Juz 18 Hal 464 Nomor 5578:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ سَمِعَ
سَلَّامَ بْنَ مِسْكِينٍ قَالَ سَمِعْتُ ثَابِتًا يَقُولُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : خَدَمْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ
فَمَا قَالَ لِي أُفٍّ وَلَا لِمَ صَنَعْتَ وَلَا أَلَّا صَنَعْتَ
Artinya: Dari
Anas r.a., “Aku telah melayani Rasulullah SAW selama 10 tahun. Demi Allah
beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata hardikan kepadaku, tidak pernah
menanyakan: ‘Mengapa engkau lakukan?’ dan pula tidak pernah mengatakan:
‘Mengapa tidak engkau lakukan?’”.
من كان يؤمن بالله وليوم الآخر فليقل خيرا أو ليسمت (رواه : بخارى ومسلم)
Artinya: “Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau
diam”
Rasulullah SAW yang tidak pernah menghardik anak-anak. Akhlak yang dicontohkan beliau adalah bersikap lemah lembut. Sikap lemah
lembut ini menjadi prinsip dasar bagi siapa saja yang mengharap ridha Allah
SWT. Dari Jarir bin Abdullah r.a, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang
tidak dikaruniai sifat lemah-lembut, maka ia tidak dikarunia segala macam
kebaikan” (HR. Muslim).
Kata-kata adalah lukisan verbal dari pikiran dan
perasaan kita. Kesan yang ditangkap oleh anak-anak dari kata-kata yang kita
ucapkan akan diolah sedemikian rupa oleh otak mereka. Anak-anak ternyata lebih
fokus pada kata terakhir dari pada uraian kata di awal kalimat, betapapun
penting dan panjangnya kata-kata pada awal kalimat tersebut. Oleh karena itu,
jika kita memerintahkan sesuatu kepada anak kita, maka biasakanlah menggunakan
kata positif. Sebagai contoh, “Kalian jangan ribut” (kata negatif, akan
ditangkap “ribut” oleh anak, sehingga mereka cenderung tetap ribut), hendaknya
diganti dengan “Kalian harus tenang” (kata positif).
Membiasakan penggunaan kata positif sekaligus juga
akan membiasakan anak berpikiran positif dan menjauhi berpikiran negartif. John Kehoe dan Nancy Fischer
mengibaratkan pikiran itu sebagai taman. Pikiran positif bagaikan bunga ditaman
yang akan membuat bahagia jika dipandang, sedangkan pikiran negatif ibarat
rumput liar yang dapat mengganggu pemandangan dalam taman tersebut. Supaya
bunga dapat tumbuh dengan subur, maka hendaknya sesering mungkin kita
menyingkirkan rumput liar tersebut.
Kata-kata hardikan, akan sangat berdampak negatif
terhadap anak-anak. Perlu diketahui, saat otak anak distimulasi dengan hal-hal
yang positif, maka cabang-cabang neuron saraf otaknya lebih banyak dan terjalin lebih dekat, semakin banyak dan
semakin terjalin dekat maka anak akan semakin cerdas. Sebuah penelitian di Amerika telah membuktikan bahwa
cabang-cabang neorun tersebut akan kembali terlepas saat anak terkejut, kaget dan takut.
PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI
Permasalahan mendasar bagi dunia pendidikan adalah bagaimana
menyiapkan generasinya yang cerdas dan memiliki karakter yang kuat untuk
membangun bangsanya ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan Rencana Strategis Kemendiknas 2010-2014
yang telah mencanangkan visi penerapan pendidikan karakter (Kemendiknas, 2010a),
maka diperlukan kerja keras semua pihak, terutama di lembaga-lembaga pendidikan
formal, termasuk lembaga pendidikan di Perguruan Tinggi.
Lembaga-lembaga pendidikan
formal mulai dari jenjang pra sekolah, pendidikan tingkat dasar, pendidikan
tingkat atas sampai Perguruan Tinggi telah mencanangkan dan menerapkan
pendidikan karakter. Namun secara umum, pendidikan karakter tersebut masih
sebatas pada pembekalan aspek pengetahuan atau menyentuh ranah kognitif semata.
Pembelajarannya lebih banyak disampaikan dalam bentuk konsep dan teori tentang
nilai benar (right) dan salah (wrong). Sedangkan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari tidak menyentuh ranah afektif dan psikomotorik
(tidak menjadi kebiasaan) dalam perilaku peserta didik. Hal tersebut dapat
dilihat dari masih disibukkannya lembaga-lembaga pendidikan tersebut pada
kegiatan ujian, mulai dari ujian pertengahan (mid-test), ujian akhir (finsl
test), dan ditambah lagi dengan pemberian tugas-tugas lainnya, penilaiannya
umumnya masih menitikberatkan pada aspek penguasaan pengetahuan dan hafalan
keilmuan (knowledge) semata.
Di Perguruan Tinggi, Pendidikan karakter merupakan tahapan
pembentukan karakter yang tidak kalah pentingnya dari pembentukan karakter pada
tahapan pendidikan sebelumnya, yaitu di lingkungan keluarga dan di lingkungan tingkat
sekolah. Oleh sebab itu, semestinya setiap Perguruan Tinggi memiliki pola
pembentukan karakter mahasiswa sesuai dengan visi, misi, dan karakteristik Perguruan
Tinggi masing-masing.
Pendidikan karakter di Perguruan Tinggi adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
civitas akademika Perguruan Tinggi yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan,
dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai
terpuji, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia
seutuhnya/insan kamil.
Pendidikan karakter di Perguruan Tinggi perlu dirancang secara
utuh. Saat mahasiswa baru memasuki wilayah kampusnya sebagai mahasiswa, di
setiap fakultas, jurusan-jurusan, di berbagai aktivitas atau kegiatan
organisasi baik intra maupun ekstra kampus, semua kegiatannya harus dirancang sedemikian
rupa secara utuh untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing
Perguruan Tinggi.
Dalam pendidikan
karakter di Perguruan Tinggi, semua komponen harus dilibatkan secara optimal,
komponen penyelenggara dan tenaga kependidikan seperti pimpinan Rektor, Dekan,
Ketua Sekolah Tinggi, Ketua Jurusan, dosen dan karyawan, kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
kuliah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan baik intra maupun
ekstra kampus, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh civitas akademika
dan lingkungan Perguruan Tinggi secara bersinergis harus saling mendukung
terselenggaranya pendidikan karakter dengan baik.
Intinya, semua faktor yang dapat mempengaruhi hasil pendidikan
karakter yang diinginkan harus terlibat dengan baik. Untuk lebih
menyederhanakan pemahaman tentang beberapa faktor yang turut mempengaruhi
pendidikan karakter dimaksud, khususnya di lembaga pendidikan formal seperti
Perguruan Tinggi, dapat diperhatikan gambar berikut ini:
Gambar: Faktor-faktor yang turut mempengaruhi hasil pembelajaran
Berdasarkan gambar di atas, untuk mendapatkan output
(hasil) yaitu mahasiswa yang berkarakter, secara umum ada 3 komponen
berpengaruh yang perlu diperhatikan, yaitu:
- Raw input (bahan mentah); yaitu siswa input (masukan) yang diterima sebagai mahasiswa. Selektif tidaknya terhadap kualitas siswa input yang diterima akan berpengaruh terhadap kualitas output (keluaran/hasil).
- Environment (lingkungan). Kondusif atau mendukung dan tidaknya lingkungan pendidikan mempengaruhi kualitas hasil yang diharapkan.
- Instrument (alat). Termasuk dalam kelompok instrument atau alat diantaranya adalah: Tenaga pendidik atau dosen, kurikulum, materi, metode dan media pembelajaran, dan lain-lain.
Dari ke 3 buah komponen yang mempengaruhi kualitas hasil
yang diharapkan, dalam hal ini terciptanya mahasiswa yang berkarakter, raw
input, yaitu siswa sebagai masukan atau bahan mentah yang akan diproses
dalam lembaga pendidikan, dalam hal ini tidak dibicarakan, sebab merupakan
komponen yang sudah jadi yang diperoleh dari hasil olahan atau pembentukan dari
lembaga pendidikan sebelumnya.
Environment (Lingkungan)
Lingkungan,
menurut pandangan kaum emperisme, mempunyai
andil yang paling besar dalam mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku manusia. Lingkungan dapat mencakup lingkungan fisik,
lingkungan budaya, lingkungan sosial, dan lain-lain,
termasuk pula lingkungan belajar
atau yang sering pula
disebut lingkungan pendidikan.
Lingkungan
pendidikan adalah segala kondisi dan pengaruh dari luar terhadap kegiatan
pendidikan, atau latar tempat berlangsungnya pendidikan. Lingkungan pendidikan yang
dimaksudkan di sini, secara umum meliputi suasana atau kondisi yang dapat
mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku mahasiswa, lingkungan di mana mahasiswa dibiasakan dengan nilai-nilai
yang terdapat dalam lingkungan kampus sehingga meresap ke dalam kesadaran hati nuraninya,
berdampak pada pembentukan karakternya dan dapat mempengaruhi tingkahlaku
mahasiswa.
Secara konkrit, lingkungan
pendidikan yang turut membentuk karakter mahasiswa diantaranya adalah:
1) Kualitas hubungan antara “aktor” lingkungan di Perguruan Tinggi
dengan para mahasiswa.
Aktor lingkungan di
Perguruan Tinggi yang dimaksud di sini adalah para pimpinan (seperti Rektor,
Dekan, Ketua Sekolah Tnggi, Ketua Jurusan, dan lain-lain), para dosen, dan para
karyawan. Hubungan yang dimaksud di sini adalah hubungan sosial yang
berkarakter, berakhlak mulia, hubungan yang didasarkan pada nilai-nilai
kebaikan yang bersumber dari ajaran agama, misalnya; yang lebih tua menyayangi
yang muda, yang muda menghormati yang tua, saling menyapa, menyebar senyum dan
menebarkan salam, menjauhkan prasangka buruk dan membiasakan berfikir positif
terhadap orang lain.
Kualitas hubungan atau
interaksi sosial yang berlangsung dengan cara-cara seperti yang dicontohkan di
atas, akan mempunyai dampak positif terhadap terbentuknya perilaku terpuji.
Jika perilaku seperti itu dilakukan secara konsisten, terutama oleh para
“aktor” lingkungan kampus, maka mahasiswa akan termotivasi dan terbiasa dengan
perilaku tersebut. Ingat, pepatah
Arab mengatakan من شبّ على شيء شابّ عليه
2) Iklim atau suasana
kampus yang tercipta dalam lingkungan tempat berlangsungnya berbagai aktivitas.
Lingkungan dapat
mempengaruhi tingkah laku manusia. Untuk membangun karakter yang dikehendaki,
maka merupakan keharusan untuk mengkondisikan lingkungan dan suasana yang
kondusif/mendukung sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Pengkondisian di sini,
maksudnya adalah penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan
karakter, misalnya kondisi lingkungan yang, terdapat tempat sampah, halaman
yang mempunyai taman hijau dan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang
di lorong kampus atau di dalam lokal kuliah.
Dalam pandangan behavioristik, lingkungan dapat membentuk
perilaku manusia. Oleh karena itu, penciptaan kondisi (conditioning),
seperti suasana religius yang dapat mendorong terbangunnya karakter
mahasiswa harus diciptakan dan dilakukan secara berkesinambungan, keteladanan,
pembiasaan nilai-nilai dan perilaku yang baik seperti: Kejujuran, sopan santun, disiplin, empati, dan sebagainya harus disosialisasikan
melalui berbagai media kampus, dan dicontohkan atau dilaksanakan secara serius,
terutama oleh para penyelenggara kampus, bahkan, jika memungkinkan diikuti pula
oleh pemberian reward (penghargaan) terhadap yang konsisten
melaksanakannya.
Sebaliknya,
terhadap berbagai nilai-nilai yang negatif seperti: Ketidak kejujuran, mencontek
pada saat ujian, kurangnya sopan santun, rendahnya tanggung jawab dan
kedisiplinan, tidak boleh ditolerer bahkan jika memungkinkan diberikan punishment
(sanksi) terhadap yang melakukannya.
Instrument (Alat)
Termasuk dalam komponen instrument (alat)
diantaranya adalah:
1)
Tenaga
kependidikan atau dosen
Dari sisi tenaga kependidikan, khususnya dosen, di samping
dapat digolongkan sebagai aktor lingkungan, dirinya juga dapat dikategorikan
sebagai alat pendidikan karena merupakan role
model atau panutan bagi para mahasiswa. Peran dosen sama halnya
seperti semboyan pendidikan nasional, yaitu: ing ngarso sung tulodo, ing madya
mangunkarso, tut wuri handayani (di depan memberi teladan,
di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan).
Dosen sebagai pendidik bukan saja bertanggungjawab
atas pemerolehan pengetahuan para mahasiswanya, tetapi juga bertanggung-jawab
menanamkan karakter di hati dan perilaku para mahasiswa. Kalau dosen mengajarkan sopan santun, kejujuran,
dan nilai-nilai positif lainnya, maka dia harus terlebih dahulu dapat memberikan contoh
dalam tingkahlaku nyata untuk berbuat sopan dan santun, jujur, dan mempraktekkan nilai-nilai positif lainnya. Tidak
ada kekuatan yang lebih besar dari seorang dosen tanpa dia menjadikan dirinya sebagai
teladan atau panutan.
Peran dosen dalam membangun karakter
mahasiswa sangat penting saat mahasiswa berada dalam lingkungan kampus,
terlebih lagi dalam ruang kuliah saat pembelajaran berlangsung. Pembelajaran yang perlu
dikembangkan oleh dosen dalam rangka pembentukan karakter di antaranya dengan
memasukkan nilai-nilai karakter ke dalam topik-topik pembelajaran, baik secara
teori maupun dalam pembelajaran praktek.
2)
Kurikulum dan materi,
metode dan media pembelajaran
Dari aspek kurikulum dan materi, pendidikan karakter dapat
diposisikan sebagai mata kuliah tersendiri, dapat pula diintegrasikan ke dalam pembelajaran
pada setiap mata perkuliahan. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan moral,
etika, akhlak, norma atau nilai-nilai pada setiap mata perkuliahan perlu dikembangkan, dijabarkan, dan dikaitkan
dengan konteks kehidupan sehari-hari. Sehingga, pembelajaran
nilai-nilai karakter tidak berada hanya di tataran kognitif, tetapi menyentuh pula
aspek penghayatan, dan pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari para
mahasiswa di lingkungan masyarakat.
Disamping itu, berbagai aktivitas dan kegiatan kemahasiswaan, baik
yang dikelola mahasiswa dalam organisasi intra maupun ekstra kampus, atau
kegiatan yang dikelola oleh pihak penyelenggara kampus, juga merupakan salah
satu media yang potensial untuk membangun dan membina karakter mahasiswa. Berbagai aktivitas atau kegiatan yang
diselenggarakan oleh para mahasiswa maupun oleh penyelenggara kampus dapat
membantu mahasiswa berkembang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka
masing-masing. Melalui kegiatan tersebut, diharapkan pula dapat berkembangnya
karakter mahasiswa seperti kemampuan berinteraksi dengan baik, jujur, disiplin,
memiliki tanggung jawab sosial, empati, menghargai orang lain, dan sebagainya.
Terlepas dari
berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, khususnya di
Perguruan Tinggi, jika dilihat dari kurikulum, materi dan implementasinya dalam
pendidikan dan pembelajaran di Perguruan Tinggi, maka tujuan pendidikan
khususnya dalam membangun karakter peserta didik (mahasiswa) sebenarnya dapat
dicapai dengan baik. Namun permasalahannya adalah, pendidikan karakter di Perguruan
Tinggi selama ini sebagian besar baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan
nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping itu, Pendidikan karakter di Perguruan Tinggi juga sangat
terkait dengan manajemen atau pengelolaan. Pengelolaan yang dimaksud
adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan dan dilaksanakan secara utuh
dan berkesinambungan yang tertuang dalam berbagai kegiatan atau aktivitas pendidikan
dan pembelajaran. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi; nilai-nilai
karakter apa saja yang perlu ditanamkan, apa
saja muatan kurikulumnya, bagaimana proses pembelajarannya. Selanjutnya,
didukung pula oleh alat dan lingkungan yang mendukung oleh para pimpinan,
dosen, karyawan, dan komponen-komponen lainnya yang terkait.
Oleh: Hidayat
Ma’ruf
SUMBER
RUJUKAN
Al-Albani, Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin. 1413
H. Shahih Adabul Mufrad (e-book). Oman: Maktabah Albani.
Anis
Matta, Muhammad. 2002. Membentuk Karakter
Cara Islam. Jakarta: Al-I’tishom.
Banjarmasin
Post. Sabtu, 1 September 2012. Halaman 1.
BayiSehat Community. 2009. Suara Ibu
Bisa Optimalkan Janin. (on line). http://www.bayisehat.com/pregnancy-mainmenu-39/454-suara-ibu-bisa-optimalkan-otak-janin.html.
Diakses pada tanggal 29 Desember 2011.
Brooks, Jane B. 2001. Parenting. third edition. New York.
McGraw-Hill Humanities Social.
Chopra, Deepak. 2011. Magical Beginnings, Enchanted Lives
(online). http://www. epochtimes.co.id/keluarga.php?id=312. Diakses pada tgl 31
Desember 2011.
Depdiknas.
2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Edisi III, Cetakan kelima). Jakarta:
Balai Pustaka.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional
Dimyati, Khudzaifah.
2008. Pengantar Redaksi
dalam Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 9. No. 1 Februari
2008.
Goleman,
Daniel. 1996. Emotional Intelligence. Bantam Books: New York, US.
Hutabarat,
Binsar. 2011. Karakter Bangsa, Dulu
dan Kini. http://christian
reformedink.wordpress.com/2011/06/19/karakter-bangsa-dulu-dan-kini/. Diakses tanggal
1 September 2012
Hoghughi, Masud and Nicholas Long. 2004. Handbook of parenting: theory and research for practice.
UK. SAGE Publications Ltd
Irianto, Yoyon Bahtiar.
2010. Strategi Manajemen Pendidikan Karakter (Membangun Peradaban Berbasis
Ahlaqul Kharimah). Proceedings of The 4th International
Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung,
Indonesia, 8-10 November 2010
Kemendiknas. 2010a. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014:
Rancangan RPJMN tahun 2010-2014. Jakarta: Biro Perencanaan Setjen
Kemendiknas.
___________. 2010b. Desain Induk Pendidikan
Karakter. Jakarta: Biro Perencanaan Setjen Kemendiknas.
Lickona,
Thomas. 1993. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility. New York: Simon & Schuster, Inc.
___________
. 2004. Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment,
Integrity, and Other Essential Virtues. New York Simon & Schusters,
Inc.
Musfiroh,
Tadkirotun. 2008. Memilih, Menyusun dan Menyajikan Cerita untuk Anak Usia
Dini. Jogjakarta: Tiara Wacana.
Pujiati, Maya A. 2007. Kekuatan Pikiran
dalam Pengasuhan Anak.(online). http://duniaparenting.com/kekuatan-pikiran-dalam-pengasuhan-anak/comment-page-1/#comment-321.
Diakses pada tanggal 29 Deseber 2011.
Sudrajat,
Akhmad. 2010. Tentang Pendidikan Karakter. dalam http://akhmad
sudrajat.wordlpress.com/2010/08/20/ diakses 31 Agustus 2012.
Suyanto. 2010. Urgensi Pendidikan Karakter.
Jakarta: Ditjen Dikdasmen-Kementerian
Pendidikan Nasional.
Tuasikal,
Muhammad Abduh. 2012. 13 akhlak utama
salafus shalih. dalam http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/13-akhlak-utama-salafus-shalih.html.
diakses tanggal 1 September 2012
UU
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Bandung: Penerbit Citra Umbara.
Walid,
Muhammad. 2011. Model pendidikan Karakter. Jurnal eL-QUDWAH. Volume 1
Nomor 5, edisi April 2011.
Voice of Islam. 2010. Cara Berkomunikasi dan Mendidik Janin
(Bacaan Wajib Ibu Hamil). (online). http://www.voaislam.com/muslimah. Diakses
pada tgl 31 Desember 2011.
Wonohadidjojo, Ishak S. (2001). Analsis SWOT untuk parenting:
Beberapa Parameter Kurikuler untuk Keluarga. VERITAS. 2/1 (April 2001):
21-35.
[1]
Banjarmasin
Post, Sabtu 1 September 2012
[2]
Dimyati.
Pengantar Redaksi dalam
Jurnal Penelitian Humaniora. Vol.
9. No. 1 Februari 2008
[3]
Dalam Hutabarat. Karakter Bangsa, Dulu dan Kini. http://christian-reformedink.
wordpress.com/2011/06/19/karakter-bangsa-dulu-dan-kini/. Diakses tanggal 1
September 2012
[4]
Anis Matta. 2002. Membentuk
Karakter Cara Islam. Jakarta: Al-I’tishom.
[5] Hadits riwayat
Bukhari, dalam Al-Albani No. 119: 207/273.
[6] Hadits riwayat Tirmizi
no. 1162, Abu Daud no. 4682 dan Ad Darimi no. 2792, hasan shahih, dalam
Tuasikal, 2012.
[7] Kemendiknas. 2010a. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014:
Rancangan RPJMN tahun 2010-2014. Jakarta: Biro Perencanaan Setjen
Kemendiknas.
[8] Depdiknas. 2007. Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Edisi III, Cetakan kelima). Jakarta: Balai Pustaka.
[9] Suyanto. 2010. Urgensi
Pendidikan Karakter. Jakarta: Ditjen Dikdasmen-Kementerian Pendidikan Nasional.
[10] Kemendiknas. 2010b. Desain Induk Pendidikan
Karakter. Jakarta: Biro Perencanaan Setjen Kemendiknas.
[11] Musfiroh. 2008. Memilih, Menyusun dan
Menyajikan Cerita untuk Anak Usia Dini. Jogjakarta: Tiara Wacana.
[12] Lickona. 1993. Educating for Character:
How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York: Simon &
Schuster, Inc.
[13] Chopra. 2011. Magical Beginnings, Enchanted
Lives (online). http://www. epochtimes.co.id/keluarga.php?id=312. Diakses pada
tgl 31 Desember 2011.
[14] Voice of Islam. 2010. Cara Berkomunikasi dan Mendidik
Janin (Bacaan Wajib Ibu Hamil). (online). http://www.voaislam.com/muslimah. Diakses
pada tgl 31 Desember 2011.
[15] Dalam situs BayiSehat
Community. 2009. Suara Ibu Bisa Optimalkan Janin. (on line). http://www.bayisehat.com/pregnancy-mainmenu-39/454-suara-ibu-bisa-optimalkan-otak-janin.html.
Diakses pada tanggal 29 Desember 2011.
[16] Sebagaimana dikutip oleh Pujiati.
2007. Kekuatan Pikiran dalam Pengasuhan Anak.(online). http://duniaparenting.com/kekuatan-pikiran-dalam-pengasuhan-anak/comment-page-1/#comment-321.
Diakses pada tanggal 29 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar