Kamis

Mainstream Pendidikan Ibn Khaldun

Beragam pemikiran pendidikan Islam telah ditorehkan oleh para ilmuwan Muslim. Meski demikian, keberagaman tersebut tetap dilandasi oleh orientasi keagamaan yang selalu melekat. Gaya para ilmuwan Muslim dalam menelorkan ide-idenya tidak selalu sama, tetapi orientasi akhir (ending oriented) tidak berbeda, yakni orientasi keagamaan yang ingin memunculkan nilai manfaat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Tulisan ini menguraikan salah satu pemikiran pendidikan ilmuwan Muslim, yakni Ibn Khaldun, yang cenderung Pragmatis-Instrumental dalam mengemukakan teori-teori keilmuan dan kependidikannya. Bagi Ibn Khaldun, pendidikan utamanya adalah untuk peserta didik. Pendidikan harus memberikan bekal nilai manfaat bagi peserta didik dengan pendekatan yang efektif dan efisien. Pendidik tidak boleh memaksakan kehendak dalam memberikan materi ajar kepada peserta didik. Jenis ilmu yang diberikan kepada peserta didik harus bertahap; dari ilmu yang sederhana sampai dengan ilmu yang rumit, agar peserta didik tidak terjerumus dalam beban pemikiran yang berlebihan (over), yang justru akan menumpulkan daya imajinatif dan kreativitasnya, dan hanya mengantarkan perkembangan nalar-pikir peserta didik ke tingkat nol. Pendidikan harus dilakukan melalui proses yang wajar, bertahap, dan penuh kasih sayang.

A. Pendahuluan
Sebuah kenyataan bahwa Islam pada dasarnya mengandung "potensi-potensi" perekat di antara pemikiran para ahli pendidikan Islam. Islam sendiri yang mendasari adanya kesama¬an dalam banyak hal, terutama tujuan dan metode pengajaran yang berkembang di dunia Muslim. Menurut Ridla (2002: 58-202), dari Ibn Sahnun (w. 256 H) di wilayah ujung barat (Maroko) hingga Ikhwan al-Shafa di Irak (abad IV H), al-Qabisi al-Qairawani (324-403 H), Ibn Miskawih (w. 421 H), al-Ghazali (450-505 H), Nashiruddin al-Thusi (597-672 H), Ibn Jama'ah al-Hamawi (639-733 H), Ibn Khaldun (732-808 H) dan Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H), tampak mempunyai "kesamaan" orientasi pemi¬kiran dalam kerangka pendidikan Islam.

Mereka senantiasa berupaya menjadikan Islam sebagai kacamata pandang. Secara global-kosmopolit, kemunculan Islam dalam pentas sejarah telah membebaskan nalar-pikir para pendidik dan ahli pendidikan dari ragam sekat yang memasung untuk kemudian kembali pada paradigma Islam. Dengan begitu, euforia pemikiran yang berkembang menjadi penuh makna dan saling melengkapi sejak dari wilayah Thus, Nishapur, Qabis, Qaeruwan, Baghdad, Damaskus hingga Kairo dan wilayah-wilayah lainnya. Orientasi ke-Islaman pada saat itu berimplikasi kuat terhadap pemikiran pendidikan Islam di kalangan umat Islam. Pemikiran pendidikan kental dengan trend nuansa agamisnya, sehingga trend lain menjadi tidak dominan. Di saat seseorang dalam menafsirkan realitas dunia berpangkal pada agama, maka agama sangat menjiwai pola pikir dan cara pandang sehingga pendidikan pun dijadikan instrumen terencana untuk mencapai tujuan. Jadi, para pendidik dan ahli pen¬didikan Muslim, setelah menjadikan tujuan keagamaan sebagai tujuan pendidikan, menyingsingkan lengan baju untuk mengarahkan segenap potensi diri menuju ke arah tujuan tersebut.

Beragam pemikiran pendidikan Islam telah ditorehkan oleh para ilmuwan Muslim, setidaknya terdapat tiga aliran utama dalam pemikiran pendidikan Islam yang dapat dimunculkan (Ridla, 2002: 58-202). Tiga aliran dimaksud adalah aliran Agamis-Konservatif, Religius-Rasional, dan Pragmatis-Instrumental. Aliran Agamis-Konserva-tif kental dengan mainstream pendidikan Al-Ghazali; Religius-Rasional dekat dengan ide-ide pendidikan Ikhwan al-Shafa; Pragmatis-Instrumental melekat dalam teori-teori pendidikan Ibn Khaldun. Selanjutnya, tulisan ini akan menyorot pemikiran pendidikan dalam mainstream Ibn Khaldun.

B. Biografi Ibn Khaldun
Ibn Khaldun termasuk seorang pemikir besar Muslim yang hidup di sekitar abad ke-14 M. dimana saat itu merupakan masa peralihan kekuasaan Islam menuju perpecahan dan kemunduran, sementara Eropa menyebut masa tersebut sebagai periode munculnya benih-benih Renaissance. Tepatnya, Ibn Khaldun lahir di Tunis pada permulaan bulan Ramadhan 732 H. (27 Mei 1332 M.) dari keluarga Andalusia yang bermigrasi ke Tunis pada pertengahan abad ke 7 H. Nama lengkapnnya Waliy al-Din Abd al-Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan bin Jabir bin Muhammad ibn Ibrahim bin Abd al-Rahman bin Khaldun (Abdullah, 1997: 57). Aw qila (atau dikatakan), nama lengkap Ibn Khaldun adalah Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Khalid. Sebutan populer Ibn Khaldun dinisbatkan pada kakeknya yang kesembilan, yakni Khalid (Alfiyah, 2006: 3-4).

Ibn Khaldun berasal dari keluarga Aristokrat yang banyak bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan dan politik. Ia memulai karir pendidikannya dengan mengkaji al-Quran, al-Hadis, fiqh Maliki, ilmu bahasa, dan syair, juga ilmu hukum, mantiq, teologi dan filsafat. Ibn Khaldun melihat penyebab hancurnya kekuasaan terakhir di Andalusia dan lahirnya kekosongan pemerintahan yang tersebar di Afrika Utara. Selain itu ia menyaksikan (di Tilmur) serbuan ras Tartar ke negeri Syam di bawah pimpinan Timur Leng (Depag RI, 1993: 388).

Ibn Khladun memang hidup dalam lingkungan keluarga Arab Hadramaut yang kaya, yang hijrah ke Spanyol setelah ambil bagian penting dalam peristiwa-peristiwa yang menandai pendirian imperim-imperium Islam. Di negeri ini leluhurnya men-duduki beberapa jabatan penting terutama di Seville, di masa pemerintahan bani Umayah. Setelah dinasti ini mengalami kemunduran dan jatuh akibat perang saudara dan serangan musuh, keluarga Ibn Khaldun hijrah ke Maroko kemudian ke Tunisia. Ibn Khaldun menjalani studi lengkap di Universitas Tunisia. Ia sangat puas dengan keberhasilan ilmiah yang dicapainya. Itu diakuinya dengan menyebut guru-gurunya terutama El-Abelli yang disebutnya sebagai “guru besar ilmu pengetahuan berbasis akal” (Bouthoul, 1998: 15)

Meski demikian, masa hidup Ibn Khaldun dipenuhi dengan kekacauan dan peperangan antar kelompok dan negara yang akhirnya menyebabkan keruntuhan dan kejatuhan kekuasaan dan peradaban Islam di Spanyol. Peristiwa-peristiwa besar yang membawa kepada runtuhnya tatanan sosial-politik Islam tersebut memberi bekas mendalam kepada pemikiran dan minatnya. Ia berjalan di bawah sinar sejarah sosial sambil mengambil butir-butir ilmu pengetahuan yang kemudian membantunya mengarahkan interpretasi runtuhnya kekuasaan (Islam). Ia melihat bahwa sejarah itu penting untuk dipelajari. Untuk mempelajari sejarah bisa dilakukan dengan pendekatan deskripsi, analisis, dan kritis (Alfiyah, 2006: 3-4).

Ibn Khaldun mengawali karirnya di dunia politik sejak diangkat oleh Sultan Abu Inan menjadi Skretaris Kesultanan di Fez, Maroko. Belum lama menjabat sebagai Sekretaris, ia dicurigai oleh Abu Inan sebagai pengkhianat bersama pangeran Abu Abdillah dari bani Hafsh yang berusaha melakukan konspirasi politik. Meski demikian Ibn Khaldun termasuk seorang yang piawai dalam hal diplomasi, sehingga tidak hanya dikagumi oleh rekan seagama; namun Pedro, sang Bengis dari Barat (Raja Kristen dari Spanyol) dan Timur Lenk, si Pincang dari Timur (Raja Mongol) juga sangat kagum kepadanya (Alfiyah, 2006: 5).

Setelah mengalami jatuh bangun di bidang politik, Ibn Khaldun mengabdikan diri dalam bidang akademik dan pengadilan. Hal ini berlangsung selama kurang lebih 24 tahun, yaitu 1382 sampai 1406 M. di Mesir. Peristiwa paling bersejarah bagi Ibn Khaldun ketika berada di Mesir adalah pertemuannya dengan bangsa Timur; atau orang Barat menyebutnya dengan istilah “Tamerlane” (1336-1405 M.). Pertemuan itu terjadi pada saat bangsa Timur hendak menaklukkan Mesir setelah berhasil menundukkan Damskus, Syria pada tahun 1400 M. Pertemuan Ibn Khaldun dengan bangsa Syria selama 35 hari ini merupakan tahap-tahap akhir karirnya di dunia politik. Setelah itu ia menjadi hakim agung madzhab Maliki sampai wafatnya. Ia menghadap Sang Maha Pencipta pada tanggal 16 Maret 1406 M (26 Ramadhan 808 H.), dan di makamkan di pemakaman para sufi di luar Bab al-Nashir, Kairo (Alfiyah, 2006: 5).

C. Karya-Karya Ibn Khaldun
Karya monumental Ibn Khaldun adalah Mukaddimah, yang banyak berisi tentang refleksi sejarah sosial-politik pada masanya, dan juga banyak diilhami oleh sumber ajaran utama Islam, yakni Alquran. Mukaddimah Ibn Khladun juga berisi tentang pemikiran-pemikiran tentang pendidikan yang substansial. Corak khas pemikiran Ibn Khaldun antara lain berusaha mengintegrasikan pemikiran al-Ghazali dan Ibn Rusyd yang kerap bertentangan. Al-Ghazali banyak menentang pandangan Aristoteles, sementara Ibn Rusyd banyak mengadopsi pemikiran Aristoteles.

Sebagaimana al-Ghazali, Ibn Khaldun sangat kuat dalam mempertahankan doktrin untuk memahami kodrat tertinggi (the ultimate reality); tidak cukup hanya menggunakan rasio, tetapi perlu juga menggunakan pengalaman religius. Dia juga terkenal dengan teorinya yang disebut Ashabiyah, yakni adanya persamaan kepentingan sebagai akibat dari adanya saling ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan tertentu (Depag RI, 1993: 387). Menurut Alfiyah (2006: 6), corak pemikiran yang rasional, empiris, dan sifistik, kiranya telah menjadi pijakan perjalanan Ibn Khaldun dalam membangun kerangka pemikirannya.

Beberapa karya Ibn Khaldun yang lain adalah Al-I’bar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Ayyam al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum minn Dzawai al-Shultan al-Akhbar (Contoh-contoh dan rekaman tentang asal-usul dan peristiwa hari hari Arab, Persia, barbar, dan orang-orang sezaman mereka yang memiliki kekuatan besar); kitab ini juga disebut dengan kitab al-‘Ibar atau Tarikh Ibn Khaldun. Karyanya yang lain adalah Al-Ta’rif bi ibn Khaldun wa Rihlatuh Gharban wa Syarqan, dll. (Suharto, 2003: 60-65).

Keunggulan Mukaddimah terletak dalam muatannya, antara lain: Pertama, mengandung falsafah sejarah. Muatan tersebut telah memberikan pemahaman baru tentang sejarah, yaitu bahwa sejarah merupakan ilmu dan memiliki nilai filosofis. Sejarah bukan semata-mata annals. Peristiwa-peristiwa sejarah terkait dengan determinisme kealaman dan bahwa fenomena sejarah sangat terkait dengan persoalan negara. Lebih lanjut, internal sejarah merupakan refleksi, verifikasi, dan kausalitas peirstiwa-peristiwa dan prinsip-pronsipnya. Jelasnya, sejarah termasuk bagian dari fakta-fakta dan sebab-sebabnya.

Kedua, mengandung metodologi sejarah. Ibn Khaldun melihat bahwa kriteria logika tidak mesti sejalan dengan watak-watak benda empirik, karena epistemologi benda-benda empirik adalah observasi, sementara logika bersifat abstraksi. Prinsip ini merangsang para sejarahwan untuk mengarahkan pemikirannya kepada eksperimen-eksperimen dan tidak menganggap cukup eksperiman yang bersifat individual, tetapi perlu adanya sejumlah eksperimen. Menurut Ibn Khaldun ada keterkaitan erat antara sejarah dan ekonomi. Faktor utama dalam revolusi dan perubahan adalah ekonomi. Kemiskinan-lah yang mendorong orang untuk perang dan merampok. Ia juga berpendapat bahwa sejarah sangat dipengaruhi oleh keadaann iklim dan berbagai faktor yang melingkupinya.

Ketiga, mengandung filsafat sosial. Pokok bahasan dalam Mukaddimah adalah kesejahteraan manusia dan masyarakat (sosial). Dalam hal ini, menurut Ibn Khaldun, hendaknya kita melihat kepada masyarakat yang beradab. Lebih lanjut, dalam Mukaddimah, Ibn Khaldun membagi pembahasannya ke dalam 6 (enam) fasal besar, yakni: Pertama, tentang masyarakat secara keseluruhan dan jenis-jenisnya serta perimbangannnya dengan bumi (sosiologi umum). Kedua, tentang masyarakat pengembara dengan menyebut kabilah-kabilah dan etnis yang biadab (sosiologi pedesaan). Ketiga, tentang negara, khilafat, dan pergantian sultan-sultan (sosiologi politik). Keempat, tentang masyarakat menetap, negeri-negeri dan kota-kota (sosiologi kota). Kelima, tentang pertukangan, kehidupan, penghasilan dan aspek-aspeknya (sosiologi industri). Keenam, tentang ilmu pengetahuan, cara memperoleh dan menyampaikannya (sosiologi pendidikan) (Abdullah, 1997: 59-60). Kesemuanya itu sangat kental kaitannya dengan kajian filsafat sosial.

Ibn Khaldun termasuk orang pertama yang mengaitkan antara evolusi masyarakat di satu sisi dengan sebab-sebab yang berkaitan dengannya di sisi lain. Dia telah mengkaji perilaku manusia dan pengaruh iklim dan berbagai aspek pencarian nafkah serta penjelasan pengaruhnya kepada institusi tubuh dan intelektual manusia dan masyarakat. Mukaddimah bukanlah karya sederhana bagi ilmu-ilmu kemasyara-katan; ia merupakan penemuan yang berhasil luar biasa dalam ilmu-ilmu sosial, sehingga Ibn Khaldun mengajak agar menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu yang berdiri secara mandiri karena perangkat keilmuan yang dimilikinya sudah cukup terpenuhi.

Oleh karena itu Prof. Sati al-Hasri berpendapat bahwa sebenarnya Ibn Khladun berhak dengan gelar pendiri ilmu sosial melebihi August Comte, karena ia lebih jauh mendahului Comte (lebih dari 460 tahun). Arnold Toynbee menyatakan dalam karyanya A Study of History; “Ibn Khaldun adalah seorang yang jenius”. Di dalam Mukaddimah Toynbee melihat dalil-dalil berdasarkan kajian yag mendalam dan fikiran yang luar biasa. Toynbee menyatakan bahwa Ibn Khaldun termasuk pendiri filsafat sejarah (Abdullah, 1997: 60). Tidak ragu lagi, bahwa Mukaddimah merupakan karya terbesar sepanjang zaman yang berisi tentang pemikiran-pemikiran filosofis kemasyarakatan, dan sampai saat ini tidak tertandingi oleh karya akal mana pun (Alfiyah, 2006: 8).

Mukaddimah Ibn Khaldun juga banyak menyoroti pendidikan Islam dengan pendekatan filosofis. Menurut Ridla (2002: 58-2002). Ibn Khaldun adalah tokoh utama dari aliran Pragmatis dalam pendidikan Islam. Pemikirannya, meskipun tidak kurang komprehensifnya dibanding kalangan Rasionalis, dilihat dari sudut pandang tujuan pendidikan, namun lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikatif-praktis. Pemikiran pendidikan Ibn Khaldun berpijak pada asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya "tidak tahu" (jahil), ia menjadi "tahu" (alim) dengan belajar. Artinya, manusia adalah jenis hewan, hanya saja Allah telah memberinya keistimewa-an akal pikir, sehingga memungkinkannya bertindak secara teratur dan terencana, yaitu berupa akal 'pemilah' (al-'aql al-tamyizi); atau memungkinkannya mengetahui ragam pemikiran dan pendapat, ragam keuntungan dan kerugian dalam tata relasi de¬ngan sesama, yaitu berupa akal eksperimental (al-'aql al-tajribi); atau menjadikannya mampu mengonseptualisasikan realitas empiris dan non-empiris, yaitu berupa akal kritis (Ridla, 2002: 58-202).

D. Mainstream Pendidikan Ibn Khaldun

Akal pikir manusia berkembang setelah manusia memenuhi kondisi sempurna "kehewanannya", yaitu berkembang sejak usia tamyiz. Sebelum usia ini, manusia tidak mempunyai pengetahuan dan secara umum bisa dikategorikan sebagai "hewan" karena terdapat kesamaan dalam proses kejadiannya dari sperma, segumpal darah, sekerat daging dan seterusnya. Jadi pemberian Tuhan pada manusia berupa cerapan inderawi dan penalaran itulah yang disebut akal pikir (Khaldun, t.t.: 983)

Hanya saja, Ibn Khaldun mengedepankan watak kebudayaan (culture oriented) bagi ilmu dan pengajaran. Mengingat, akal pikir adalah sarana manusia memperoleh kehidupan, kooperasi antar sesama dan kemasyarakatan yang kohesif. Dari orientasi akal pikir semacam itu, keilmuan dan kreasi inovatif akan ba¬nyak dihasilkan (Khaldun, t.t.: 984). Meski begitu, kecenderungan pragmatis da¬lam pe-mikiran Ibn Khaldun masih belum eksplisit, kecuali bila dilihat pada idenya yang memasukkan pengajaran (program kurikuler) sejumlah keterampilan praktis, yakni dia mengedepankan corak aplikasi praktis dalam proses pembelajaran.

Di sinilah keunikan pemikiran Ibn Khaldun dibandingkan dengan ahli-ahli pendidikan pada masanya, dan kiranya hanya kelompok Ikhwan al-Shafa yang mem-punyai pemikiran serupa, meski masih kalah eksplisit. Pada dataran ini, Ibn Khaldun berusaha menyelesaikan masalah yang hingga kini masih diperdebatkan, yaitu mengenai apakah prestasi dan keberhasilan dalam pembelajaran (pengajaran) itu hal yang bersifat bakat bawaan atau kemampuan hasil belajar. Dia tampaknya cenderung pada pendapat terakhir (kemampuan hasil belajar), sebagaimana dinyatakannya: "Sesungguhnya kemumpunian dalam ilmu dan pemahaman mendalam terhadapnya hanya bisa dicapai dengan penguasaan penuh/profesionalitas prinsip-prinsip dasar, rumus-rumus dan seluk-beluk problematika ilmu terkait” (Ridla, 202: 58-202)

1. Epistemologi Ibn Khaldun

Ibn Khaldun menegaskan bahwa segala ilmu bersumber dari kitab Suci dan Hadis, sehingga pemahaman terhadapnya memerlukan elaborasi kata (redak-sional) nya; ini menjadi kajian disiplin ilmu Tafsir. Setelah itu, diperlukan penge-tahuan otentisitas pembacaannya yang merupakan lingkup ilmu Qira'at. Umat Islam juga perlu mengetahui jalur transmisi (sanad) Hadis, kondisi perawinya dan sebagainya yang merupakan lingkup ilmu Hadis. Selanjutnya, juga diperlukan peng-istinbat-an hukum dari dalil pokok (sumber baku), sehingga dibutuhkan metodologi istinbat, yang merupakan kajian ilmu Ushul Fiqih. Baru kemudian umat memerlukan kemampuan mengetahui hukum-hukum Tuhan terhadap perilaku orang-orang mukallaf, yakni lingkup ilmu Fiqih (Ridla, 202: 58-202).

Taklif itu sendiri (hukum Tuhan yang dikenakan pada orang mukallaf) ada yang badani (lahiriah) dan ada yang qalbi (batiniah). Taklif qalbi terkait dengan masalah keimanan, yakni aqidah kepercayaan pada Dzat Tuhan, sifat-sifat-Nya, kebangkitan, pahala dan siksa. Argumentasi rasional tentang masalah-masalah ini adalah lingkup kajian ilmu Kalam. Umat juga perlu merujuk kandungan al-Quran dan al-Hadis, dimana terlebih dahulu dibutuhkan ilmu-ilmu kebahasaan (ulum lisaniyyah) yang banyak jenisnya, antara lain: ilmu Bahasa, ilmu Bayan, ilmu Sastra. Ilmu-ilmu ini disebut dengan ilmu-ilmu Naqliyyah yang secara spesifik ada dalam agama Islam dan pemeluknya, meski memang di agama lain pun sebenarnya juga ada ilmu serupa (Ridla, 202: 58-202).

Hanya saja, (untuk konteks Islam) ilmu itu dikategorikan sebagai ilmu-ilmu Syar'iyyah yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul Muhammad yang 'menghapus' ilmu-ilmu keagamaan sebelumnya, sehingga merupakan 'pantangan' mengaji Kitab Suci selain al-Quran. Dalam hal ini Nabi bersabda, "Janganlah kamu benarkan ahli Kitab itu, dan jangan pula kamu dustakan. Berkatalah, Kami beriman pada apa yang telah diturunkan ke¬pada kami dan apa yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu”.

Nabi sewaktu melihat selembar kertas Taurat di tangan Umar, beliau tampak marah dan berkata, "Bukankah telah disampaikan kepada kalian Kitab Suci 'putih' (Ridla, 202: 58-202). Seandainya nabi Musa masih hidup niscaya dia akan mengikutiku". Jadi ilmu-ilmu Syar'iyyah-Naqliyyah telah sampai pada puncaknya yaitu dalam agama Islam (Khaldun, t.t.: 180-185).

Dengan pembatasan Ibn Khaldun terhadap ilmu-ilmu Naqliyyah hanya pada umat Islam, baik dalam teori maupun praktek, tampak bahwa dia meletakkan eksplorasi intelektual akal pikir dalam lingkup keilmuan ini di antara dua pembatas. Pertama, larangan mengkaji kitab-kitab suci selain al-Quran. Kedua, penyerahan (percaya) sepenuhnya terhadap generasi terdahulu (salaf) berkenaan dengan buah pemikiran mereka dalam lingkup kajian keilmuan Naqliyyah tersebut. Dengan kata lain, Ibn Khaldun telah menutup pintu ijtihad dalam setiap hal yang terkait dengan keilmuan Naqliyyah. Hal ini jelas terkesan 'aneh', terlebih bila dihubungkan dengan sosok Ibn Khaldun sebagai seorang pemikir (sejarahwan) yang paradigma filsafat sejarahnya adalah "dinamis" (harakiyyah) dan "kontinuitas perubahan" (istimrariyyat al-tabaddul) dalam fenomena sejarah, dan keberlakuan hukum-hukum permanen yang bisa diverifikasi atas fenomena sejarah (Ridla, 202: 58-202).

Adapun dengan ilmu-ilmu 'Aqliyyah (intelektual), Ibn Khal¬dun bersikap bebas dan terbuka. Dia mengakui watak general "kebudayaan dan kemanusiawian" keilmuan ini pada satu sisi, dan juga watak "progresivitas-dinamisnya" bagi peradaban manusia pada sisi yang lain. Menurutnya, ilmu-ilmu intelektual merupakan karakter dasar manusia sebagai makhluk berpikir. Ilmu-ilmu ini tidak terbatas pada agama dan budaya tertentu, melainkan mempunyai akses yang sama terhadap penguasaan selainnya. Semenjak peradaban manusia terbangun, ilmu-ilmu ini telah ada dan disebut dengan ilmu-ilmu kefilsafatan dan hikmah.

Ibn Khaldun sejalan dengan kalangan Rasionalis dalam hal pengakuan rasio (al-'aql) atau daya pikir (al-fikr) sebagai sumber otonom dari sumber-sumber pengetahuan lainnya dan menjadikan kajian tentang realitas kebenaran sebagai penentu utama eksistensi manusia. Bahwa manusia mempunyai kemiripan dengan hewan dalam banyak hal; kepekaan terhadap rangsangan, gerak, makan minum dan sebagainya, namun berbeda dengan hewan pada daya pikirnya yang menjadi instrumen pemerolehan penghidupan dan kooperasi dengan sesama. Dari daya pikir itu, muncul ragam ilmu dan keterampilan manufaktur. Dalam kerangka daya pikir dan watak dasar manusia, bahkan juga hewan, yang cenderung ingin mendapatkan basic need (kebutuhan kodrati), wajar bila daya pikir lebih cenderung memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru yang belum dimiliki, dengan merujuk pada orang yang lebih dulu tahu atau merujuk pada generasi terdahulu dari kalangan para nabi yang telah menyampaikan warta kebenaran. Selanjutnya, eksplorasi intelektual daya pikir (rasio) mengarah pada satu persatu realitas ke¬benaran dan mencermati hal-hal yang didapatinya secara berulang, sehingga tumbuh capability intelektual dalam menghasilkan teori kebenaran tentang pengetahuan.

Demikian realita alami daya pikir yang menjadi ciri pembeda manusia dari jenis makhluk (hewan) lainnya. Hanya saja daya pikir itu, meskipun otonom, membutuhkan serangkaian "premis-premis" yang memandunya dalam ber-istidlal dan pada pra premis membutuhkan logika dan bahasa. Logika adalah kesanggupan "kreatif" yang kongruen dengan kodrati daya pikir dan selaras dengan gambaran potensialnya. Logika mendeskripsikan bagaimana aktivitas pemikiran teoritis itu dijalankan agar dapat diketahui benar-salahnya. Sementara bahasa adalah pengetahuan tentang seluk-beluk kata dan arti yang terkandung di dalamnya sebagaimana yang digunakan pada ungkapan tulis maupun pada ungkapan lisan. Bagi pelajar, agar bisa "melampaui" sekat-sekat pemikiran ini, diharuskan memahami benar arti yang ditunjukkan oleh bahasa tulis dalam kaitannya dengan kata yang diucapkan, lalu mema¬hami arti yang ditunjukkan oleh kata yang diucapkan kaitan¬nya dengan arti yang dimaksud. Selanjutnya, dia harus me¬mahami tata aturan tentang runtutan arti yang berguna untuk istidlal (landasan berargumentasi) sesuai pola-pola yang sudah dikenal dalam pemikiran logis (Khaldun, t.t.: 235-236).

Pada titik ini Ibn Khaldun meletakkan hal terpenting dan kompleks dari problematika pendidikan, yaitu peran bahasa da¬lam perkembangan pemikiran dan pembelajaran secara umum. Kiranya sangat berguna, bila sekilas melihat pemikiran dua tokoh besar peradaban klasik yang senada dengan pemikiran yang dikemukakan Ibn Khaldun; Confusius dan Plato. Confusius berpendapat bahwa rusaknya tatanan politik berpangkal pada rusaknya bahasa yang digunakan oleh warga masyarakat, sehingga pemikiran menjadi kacau dan kebenaran menjadi kabur. Demikian halnya, dalam buku Republics, Plato mengaitkan rusaknya tatanan po¬litik dengan rusaknya tatanan pendidikan dan mengaitkan ru¬saknya tatanan pendidikan dengan rusaknya tatanan bahasa yang pada gilirannya berakibat pada penamaan sesuatu bukan dengan nama semestinya, sehingga goyahlah tatanan ide yang seharusnya memandu masyarakat.

Ibn Khaldun mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasar tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai substansialnya semata. Dengan demikian, dia membagi ragam ilmu yang perlu dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian. (1) Ilmu-ilmu yang bernilai intrinsik, semisal ilmu-ilmu syar'iyyat (keagamaan); Tafsir, Hadis, Fiqih, Kalam; juga Ontologi dan Teologi dari cabang Filsafat. (2) Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu jenis pertama, semisal kebahasa-Araban dan sejenisnya bagi ilmu syar'iy, Logika bagi Filfasat, ilmu Hitung, bahkan ilmu Ka¬lam dan Usul Fiqih.

Berangkat dari orientasi praktis-pragmatis ('amaliy), Ibn Khaldun membolehkan pendalaman ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Dia membolehkan berbincang lebih lanjut, berdiskusi dan berargumentasi secara analitik-rasional tentang ilmu-ilmu tersebut. Mengingat, hal demikian dapat meningkatkan intelektualitas-akademik seseorang. Adapun ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental, semisal kebahasa-Araban dan Logika, maka Ibn Khaldun tidak membolehkan diskursus rasional tentang ilmu ini, kecuali bila diletakkan dalam kerangka kegunaan bagi jenis ilmu yang bernilai intrinsik. Khaldun (t.t.: 536) menyatakan:
Pembicaraan dan kajian tentang ilmu ekstrinsik-instrumental hendaknya tidak diperluas dan diperdalam, karena menyimpang dari maksud semula, mengingat ilmu ini hanyalah instrumen, tidak lebih. Apabila dia keluar dari "koridor" ini, berarti dia keluar dari maksud semula dan berkecim-pung di dalamnya adalah kesia-siaan, padahal telah banyak menguras tenaga. Pada gilirannya, hal demi¬kian akan menjadi penghambat dalam memperoleh ilmu-ilmu yang bernilai intrinsik yang jelas lebih layak diprioritaskan.

Dalam uraian lain, Ibn Khaldun mengklasifikasi beberapa ilmu sebagai berikut. Pertama, ilmu Mantik (Logika), yakni ilmu yang menjaga pro¬ses penalaran dari hal-hal yang sudah diketahui menuju hal-hal yang belum diketahui (generalisasi dan inferensi) agar tidak mengalami kesalahan. Kegunaan ilmu ini adalah memilah-milah antara yang benar dan yang salah menyangkut objek pe¬nalaran seseorang, untuk bisa sampai pada realisasi kebenaran dari realitas yang dijangkau akal pikirnya. Kedua, ilmu Alam, yakni ilmu tentang realitas empiris-inderawiah, baik berupa unsur-unsur atomik, bahan-bahan tambang, benda-benda angkasa maupun gerak alam dan jiwa manusia yang menimbulkan ragam gerak, dan sebagainya. Ketiga, Teologi (ilmu ke-Tuhan-an dan Metafisika), yakni hasil pemikiran tentang hal-hal metafisis. Keempat, ilmu Matematik. Ilmu ini meliputi empat disiplin keilmuan yang disebut al-Ta'alim, yakni: a) ilmu Ukur (al-Handasah), yaitu hasil pemi¬kiran tentang seluk-beluk ukuran secara umum: panjang-pendeknya sesuatu, baik satu dimensi atau dua dimensi, baik sebagai satuan-satuan atau tersusun; b) ilmu Aritmatika, yaitu ilmu tentang seluk-beluk hitungan; c) ilmu Musik, yaitu pengetahuan tentang nada, suara, penataan keduanya dan penyusunan lagu; d) Astronomi, yaitu penentuan bentuk benda-benda angkasa, jumlahnya, kecepatan geraknya, rotasi dan orbitnya (Khaldun, t.t.: 1085-1091).

2. Metode Pembelajaran Ibn Khaldun
Dalam kaitannya dengan metode pembelajaran, Ibn Khaldun menyampai-kan beberapa kritiknya terhadap gaya para pendidik di masanya. Pertama, dari kebiasaan mendidik yang dia kritik adalah metode "indoktrinasi" para pendidik terhadap peserta didik: para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada peserta didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya.

Ibn Khaldun mengingatkan, pengajaran ragam keilmuan hanya akan berguna bila dilakukan secara gradual sedikit demi sedikit. Awalnya disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertim-bangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan peserta didik, hingga selesai materi perbab. Dengan ini bisa diperoleh mastery learning (belajar dengan penguasaan penuh) akan materi keilmuan yang diajarkan, meski memang masih embrionik. Lebih jauh, meto¬de pembelajaran demikian mempersiapkan peserta didik untuk me¬mahami secara penuh-integral subject matter pembelajaran dan seluk-beluk permasalahannya. Pengulangan subject matter tadi un¬tuk yang kedua kalinya pun akan membuka 'cakrawala' baru dan elaboratif, sehingga permasalahan-per-rnasalahan pelik yang ada bisa terpecahkan, dan peserta didik menjadi 'tercerah-kan'. Model pembelajaran semacam ini akan lebih berguna (efektif), meski memang (mungkin) ada pengulangan-pengulangan dalam materi pembelajaran.

Pada masa sekarang banyak pendidik tidak mengetahui metode-metode pembel¬ajaran yang efektif. Mereka begitu saja menyampaikan materi yang pelik kepada peserta didik dan mengulang-ulangnya tanpa disertai mengajarkan kerangka pikir pemahamannya dan tanpa mempertimbangkan tingkat kesiapan peserta didik. Padahal terbentuknya kesiapan dan kemampuan memahami pada diri peserta didik itu membutuhkan proses dan berlangsung secara gradual; me¬reka awalnya membutuhkan penyederhanaan, contoh dan ilustrasi kongkrit. Demikian, kesiapan peserta didik terus berkembang perlahan-lahan seiring dengan kompleksitas materi yang diajarkan hingga pada penguasaan penuh.

Jadi sekiranya hal-hal yang njlimet dan sukar sekali sudah diajarkan di awal, padahal peserta didik belum mempunyai kesiapan untuk mencerna, maka bisa memupuskan minat belajar dan memasung kreativitasnya. Hal ini merupakan kesalahan metode pengajaran. Pendidik tidak sepantasnya membebani peserta didiknya di luar program studi dan daya kemampuannya. Pendidik tidak pantas mencampuradukkan berbagai materi pengajaran hingga mengakibatkan "amburadulnya" orientasi studi. Pendidik harus beruasaha agar peserta didik mencapai penguasaan penuh (mastery learning), sehingga dia mempunyai transferabilitas untuk mencerap materi keilmuan selanjutnya dan etos keilmuan untuk mengembangkan kemampuan akademiknya. Tindakan pendidik yang mencampuraduk materi pengajaran dapat berakibat pada tumpulnya daya pikir peserta didik dan pudarnya minat belajarnya (Ridla, 2002: 58-202).

Dengan demikian, pendidik tidak seyogyanya mencerai-berai subject matter yang diajarkan, sehingga tidak ada kesinambungan, karena dapat mengakibatkan kelupaan dan diskontinuitas pemahaman bagi peserta didik terhadap materi yang diajarkan, se¬hingga penguasaan penuh sulit dicapai. Penguasaan penuh menuntut adanya kontinuitas dan frekwensi rutin pembela-jaran, (dari sini) 'Allah yang mengajarimu sesuatu yang kamu belum mengeta-huinya'. Di antara cara-cara efektif pembelajaran adalah bila tidak ada pencam-puradukan dua materi yang berbeda, karena hal ini dapat memecah perhatian dan konsentrasi belajar peserta didik sehingga kedua materi itu sama sekali tidak tercerna. Sebaliknya, bila perhatian dan konsentrasi belajar bisa fokus, maka efektivitas pembelajaran menjadi optimal (Khaldun, t.t.: 1233-1235).

Kedua, mengenai keharusan "memilah-milahkan" antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik semisal: ilmu-ilmu keagamaan, kealaman dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental semisal: ilmu-ilmu kebahasa-Araban dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta Logika yang dibutuhkan oleh Filsafat. Ibn Khaldun mengizinkan pendalaman semaksimal mungkin terhadap ilmu-ilmu yang bernilai intrinsik, dan menganjurkan keharusan sebatas kebutuhan (al-iqtishad) terhadap ilmu-ilmu instrumental (bernilai ekstrinsik). Khaldun (t.t.: 1238-1239) menyatakan:

Tidaklah dilarang melakukan pendalaman terhadap ilmu-ilmu intrinsik dan cabang-cabangnya, dan eksplorasi argumentasi-argumentasinya. Hal ini sangat berguna untuk meningkatkan kemam¬puan (kemahiran) seseorang dalam menguasai inti keilmuan tersebut. Adapun ilmu-ilmu instrumental, semisal ilmu kebahasa-Araban dan logika, maka seseorang tidaklah sepantasnya mengkaji ilmu-ilmu ini kecuali dalam kerangka sebagai instrumen (sarana) ilmu-ilmu instrinsik, sehingga dia tidak terlalu sibuk mendalaminya hingga di luar batas yang proporsional. Mengingat, bila keilmuan intrinsik sampai terabaikan gara-gara kesibukan semacam itu, sama halnya dia menyia-nyiakan umur dalam hal yang kurang berguna. Tindakan demikian banyak dilakukan para pakar ilmu Nahwu dan Logika sekarang ini. Mereka sibuk mendalami dan memperbincangkan keilmuan tadi hingga di luar batas yang proporsional. Bila da¬lam proses pembelajaran kenyataannya seperti itu, jelas akan merugikan peserta didik, karena mengalihkan mereka dari ke¬ilmuan instrinsik menuju keilmuan instrumental. Ini sama halnya dengan penyia-nyiaan umur mereka, karena telah dihabiskan untuk hal-hal yang kurang urgen dan krusial. Oleh karena itu, anak-anak didik perlu diingatkan akan orientasi pembelajaran yang seharusnya, dan ditumbuhkembangkan potensi mereka selaras dengan minat dan bakat yang dimiliki.

Ketiga, berkenaan dengan masalah pengharusan peserta didik menghafal/mempelajari hal-hal yang "tidak berguna" dalam rentang waktu yang cukup lama dan menyibukkan diri dengan banyak peristilahan dari materi pem¬belajaran. Khaldun (t.t.: 1230-1232) mengingatkan:

Di antara hal yang merugikan manusia dan menghambatnya un¬tuk dapat memperoleh ilmu adalah terlalu banyak (sibuk) mengoleksi ragam peristilahan materi pembelajaran dengan thethek-bengeknya; anak didik diharuskan untuk memenuhi itu semua, se¬hingga dia ribut menghafalnya dan sibuk dengan 'ini-itu'. Padahal waktu (usia) yang ada baginya tidak mencukupi, sementara tuntutan pembelajaran belum terpenuhi. Sekiranya para pendidik (dalam mengajar) mencukupkan dengan masalah-masalah pokok saja, tentu persoalannya menjadi lain dan proses pembelajaran lebih sederhana dan efektif. Sayangnya, praktek pembelajaran sudah sedemikian mentradisi dengan pola semacam itu sehingga ibarat seperti nature yang sulit untuk diubah dan diganti.

Sebagaimana Ibn Khaldun mengkritik pola pembelajaran yang bertele-tele, dia juga mengkritik pola pembelajaran yang terlalu cepat, sehingga mengaburkan materi yang diajarkan. Fenomena semacam ini cukup membudaya pada masanya, sehingga dia mengingatkan akan dampak negatif yang timbul bagi perkembangan intelektualitas peserta didik. Dia menegaskan; pola demikian itu dapat mengganggu efektivitas pembelajaran, karena menimbulkan keruwetan bagi peserta didik dan juga kebingungan baginya. Peserta didik dibingungkan oleh penyampaian-penyampaian materi yang sedemikian ringkas, sehingga sulit dipahami. Kalaupun peserta didik mencapai suatu penguasaan materi, tentu tidak akan sebagus penguasaan materi yang dicapai melalui pembelajaran yang elaboratif, karena ada 'pengulangan' dan transformasi materi yang sangat berguna untuk terwujudnya penguasaan materi (hasil belajar) yang maksimal. Pola pembelajaran ringkas-cepat tidak mencukupi, peserta didik memerlukan penyampaian materi yang elaboratif agar bisa mencapai penguasaan penuh dan meaningful (Khaldun, t.t.: 1232-1233).

Keempat, terkait dengan strategi berinteraksi dengan peserta didik yang "militeristik" dan keras: peserta didik harus seperti ini dan seperti itu. Ibn Khaldun meng¬ingatkan agar jangan terjadi salah sikap dalam pembelajaran yang pada gilirannya dapat berdampak buruk bagi peserta didik, berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal. Khaldun (t.t.: 1243-1244) menyatakan:

Pendidik yang dalam proses pembelajaran teramat keras dan galak terhadap peserta didiknya, maka sikap keras dan galak tadi membekas dalam diri peserta didik, sehingga dia terlatih hidup dalam kepura-puraan, kepalsuan dan ketidakwajaran, dan nyalinya pun menjadi kecil. Keadaan ini terus berlanjut hingga membentuk kebiasaan dan akhlaq peserta didik. Hal ini dapat membuat nilai kemanusiaannya mengikis dan jiwa peserta didik yang bersangkutan menjadi malas untuk berkembang kearah kebaikan, melainkan justru turun ke titik nol.

Tampak jelas bahwa pemikiran Ibn Khaldun sedemikian gamblang dan formulatif menyangkut teori bahwa institusi-institusi keilmuan (pembelajaran) disamping mampu mencetak out put pendidikannya yang bermental budak dan culas, juga mampu men¬cetak out put yang bebas-independen dan konsisten. Di sinilah, mutiara pemikiran Ibn Khaldun yang hanya mampu dikenali dengan baik oleh orang-orang yang cermat dan analitik (Ridla, 2002: 58-202).

E. Penutup
Pendekatan Pragmatis yang digulirkan Ibn Khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran pendi¬dikan Islam. Apabila kalangan Konservatif mempersempit ruang-lingkup "sekuler" di hadapan rasionalitas Islam dan mengaitkannya secara kaku dengan pemikiran atau warisan Salaf, sedangkan kalangan Rasionalis dalam sistem pendidikan (pro¬gram kurikuler) berpikiran idealistik sehingga memasukkan semua disiplin keilmuan yang dianggap substantif bernilai, maka Ibn Khaldun meng-akomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebu¬tuhan spiritual-ruhaniah maupun kebutuhan material.

Pada akhirnya, mengaji tentang pemikiran para ilmuwan Muslim dari masa klasik sampai kontemporer tetap menarik dan signifikan, serta tidak pernah basi asalkan dilakukan dengan pendekatan filosofis dan bukan doktrinal. Pengkajian secara filosofis memerlukan daya nalar kritis dalam melihat berbagai kecenderungan pemikiran sang ilmuwan yang sedang dikaji. Bagaimanapun, apa yang telah ditoreh-kan para ilmuwan Muslim, baik klasik maupun kontemporer, bahkan ilmuwan non-Muslim sekalipun, tidak akan pernah terlepas dari konteks sosio-historis dan kultural di mana dan kapan sang ilmuwan itu hidup. Oleh sebab itu, mengingat tempat dan waktu hidup sang ilmuwan dengan tempat dan waktu hidup sang pengkaji ilmu itu relatif tidak sama, maka dalam mengkaji teori-teori yang dihasilkan sang ilmuwan perlu menggunakan pisau anilisis yang kritis dalam rangka mereproduksi pemikiran sang ilmuwan, untuk selanjutnya memproduksi berbagai pemikiran baru yang aktual.

Dalam konteks ini, mainstrem pendidikan yang dihasilkan Ibn Khaldun tidak harus dianggap sebagai sebuah doktrin yang hegemonik, tetapi merupakan nalar-pikir yang opened (terbuka) untuk selalu dikritisi. Beberapa pemikiran Ibn Khaldun yang masih relevan untuk diterapkan di zaman ini perlu diapresiasi secara positif, sementara pemikiran Ibn Khaldun yang kurang relevan dalam konteks zaman sekarang perlu diinterpretasi dan direformulasi menjadi suatu bentuk pemikiran yang kontekstual. Kalaupun tidak memungkinkan untuk dikontekstualisasikan, maka sebuah pemikiran cukup diwacanakan sebagai khazanah intelektual (ilmu untuk ilmu). Konsep pendidikan Ibn Khaldun yang masih relevan untuk diterapkan adalah bahwa pendidikan itu memerlukan proses yang cukup (tidak terlalu cepat dan bertele-tele), bertahap berdasarkan jenjang kemampuan nalar-pikir peserta didik, dan dilakukan dengan penuh kasih sayang.

DAFTAR RUJUKAN
Al-Ghazali. (t.t.). Syarah Ayyuhal Walad. Surabaya: Al-Hidayah.
Depag RI. (1993). Ensiklopedi Islam. Jilid 2. Jakarta: CV. Anda Utama.
Bouthoul, Gaston. (1998). Teori-Teori Filsafat Sosial Ibn Khaldun, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Alfiyah, Hanik Yuni. (April 2006). “Ibn Khaldun dan Tafsir Sosial”, Paramedia, Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Vol. 7, No. 2. Surabaya: Lemlit IAIN Sunan Ampel.
Khaldun, Ibn. (t.t.). al-Muqaddimah. Jilid III. Kairo: al-Maktabah al-Tijariyah.
Ridla, Muhammad Jawwad. (2002). Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis–Filosofis), Terj. Mahmud Arif dari Judul ”al-Fikr al-Tarbawi al-Islamiyyu Muqoddimat fi Ushulih al-Ijtimai ’yati wa al-Aqlamiyyat”. Yogyakarta: PT. Tiara Wacanan.
al-Syaibani, Muhammad Omar al-Toumy. (1979). Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Fahmi, Muhammad. (2005). “Intellectual Democracy: Paradigma Pendidikan Islam di Era Posmodern, Catatan Kaki, Nizamia, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8 Nomor 2. Surabaya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel.
Freire, Paulo. (2000). Pendidikan Kaum Tertindas, Cet. Ke-3. terj. Oetomo Dananjaya, dkk. Jakarta: LP3ES.
Zarnuji, Syekh. (t.t.). dalam Syekh Ibrahim, Syarah Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum. Surabaya: Al-Hidayah.
Abdullah, Syamsudin. (1997). Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Suharto, Toto. (2003). Epistemologi Sejarah Kritis Ibn Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

DITULIS OLEH: ABD. HARIS (Alumni Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Tidak ada komentar: