Kamis

Etika Pendidik Dalam Pendidikan Islam (Telaah Atas Pemikiran Al-Ghazali)

Pendidik merupakan bagian terpenting dalam pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Dalam menggali konsep-konsep pendidik yang ditawarkan oleh ulama Muslim dan/atau ilmuwan Barat, yang perlu dipertimbangkan adalah muatan moral dan rasionalnya. Mengadopsi konsep apa pun (termasuk pendidik) yang hanya bermuatan moral, akan berimbas pada tumpulnya sebuah daya kreativitas rasional dalam pendidikan (Islam). Begitu juga sebaliknya, mengadopsi pemikiran yang hanya bermuatan rasional tanpa mempertimbangkan muatan moralnya, akan berimplikasi pada keringnya perilaku bermoral, dan ini akan berefek pada krisis sosial. Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan (balancing) antara keputusan moral dan rasional dalam pendidikan (Islam). Dari situ, menarik untuk menelanjangi konsep (pendidik) dalam pendidikan Islam dengan pisau bedah al-Ghazali, yang memang secara esensial mempertimbangkan aspek moral dan rasional dalam ulasan-ulasan pemikirannya. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik merupakan orang tua; pewaris para Nabi; pembimbing; figur sentral; motivator (pendorong); orang yang semestinya memahami tingkat kognisi (intelektual) peserta didik, dan teladan bagi peserta didik

A. Pendahuluan
Secara parsial, al-Ghazali termasuk filosof dan sekaligus sufi besar dalam Islam. Pemikirannya tentang berbagai hal, sangat kental terkait dengan nilai filosofis dan sufistik. Seperti pandangannya tentang esensi manusia –yang secara makro- terdiri dari akal dan hati. Ketika yang dominan suhu filsafatnya, beliau mendahulukan akal, dan ketika yang dominan suhu sufistiknya, beliau mendahulukan hati. Meski demikian, beliau selalu berusaha menyeimbangkan keduanya. Begitu juga dengan pemikirannya tentang manusia sebagai pendidik. Beliau selalu berusaha menawarkan konsep yang bersifat rasional dengan tidak mengabaikan aspek moral, sehingga keduanya berjalan secara seimbang.

Pendidik merupakan faktor yang sangat penting dalam pendidikan. Tanpanya, pendidikan tidak akan dapat berjalan. Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang ”pendidik”, ada baiknya jika disinggung sekilas tentang pendidikan. Al-Ghazali, memang tidak pernah merumuskan pengertian dan konsep pendidikan secara definitif. Akan tetapi dari pemikiran-pemikirannya -yang terkait dengan pendidikan, kita bisa merumuskannya sendiri; sebuah rumusan yang tentunya berbanding lurus dengan rumusan pendidikan yang dikemukakan para ahli pendidikan.

B. Eksplorasi Singkat Tentang Pendidikan (Islam)
Secara sederhana, pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sementara pendapat lain mengatakan, bahwa pendidikan mencakup berbagai dimensi, antara lain akal, perasaan, kehendak, dan seluruh unsur atas kejiwaan manusia serta bakat-bakat dan kemampuannya. Oleh karena itu pendidikan merupakan usaha pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menuju kesempurnaan.

Bagaimana dengan pendidikan Islam? Menurut H. Abudin Nata, pendidikan Islam adalah bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh pendidik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, rasa, intuisi, dan sebagainya) serta raga peserta didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.

Paradigma pendidikan Islam tidak pernah memisahkan antara akal dan jiwa. Menurut A. Malik Fadjar (1995), dalam pendidikan Islam, Islam terkadang ditempatkan sebagai sumber nilai pendidikan, atau terkadang dijadikan bidang studi, dan/atau dijadikan sebagai keduanya; disamping sebagai sumber nilai juga sebagai bidang studi yang dipelajari dalam proses pendidikan. Dengan demikian, maka pendidikan Islam selalu mendasarkan konsep-konsepnya kepada sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits (dan mungkin juga pemikiran para ulama terutama Muslim).

Dengan mengacu pada pengertian tersebut di atas, maka unsur-unsur yang terdapat dalam pendidikan terdiri dari usaha/ proses, pendidik/ guru, murid/ peserta didik, alat/ materi, tujuan, dan evaluasi. Meskipun al-Ghazali tidak memberikan pengertian dan konsep tentang pendidikan secara definitif, namun pemikiran al-Ghazali sudah menyentuh pada unsur-unsur yang terkandung dalam pendidikan tersebut. Jadi mengenai definisi pendidikan menurut al-Ghazali, kita bisa merumuskannya sendiri dengan mengkaji pemikirannya mengenai unsur-unsur yang terkait dengan pendidikan; sebab persoalan definisi itu merupakan rangkaian dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang antara satu dengan yang lain mempunyai kesamaan arah dan saling mendukung menjadi suatu redaksi yang bisa dimengerti.

Dalam kaitan ini, unsur-unsur pendidikan menurut al-Ghazali dapat dilihat dari ungkapannya: “Tujuan murid (belajar) sekarang adalah untuk menghiasi batin dengan keutamaan; dan besok adalah mendekatkan diri kepada Allah. Dengan ilmu ia tidak bermaksud mencari harta, pangkat, berdebat dengan orang-orang dan membanggakan diri di hadapan teman-teman”. Ungkapan al-Ghazali ini mengandung unsur pendidikan berupa tujuan dan alat (berupa ilmu).

Mengenai unsur pendidikan yang lain seperti pendidik dan peserta didik dijelaskan oleh al-Ghazali dalam ihya ulumiddin bab tata kesopanan (etika) orang yang belajar (peserta didik) dan orang yang mengajar (pendidik). Sementara untuk proses pendidikan, kapan dimulai dan kapan berakhir, dijelaskan al-Ghazali dalam Ihya bab Adabul Mu’asyarah (etika pergaulan suami dan istri). Dalam bab tersebut al-Ghazali menerangkan tentang tata cara hubungan suami dan istri, juga dijelaskan bagaimana bersetubuh yang benar menurut sunah Rasul Saw.

Menurut al-Ghazali, bersetubuh yang benar antara suami dan istri adalah dimulai dengan membaca basmalah, surat ikhlas, takbir, tahmid, tahlil, dan doa-doa lain. Ini merupakan batas awal dimulainya proses pendidikan, yakni sejak bersatunya sperma dan ovum sebagai awal kejadian manusia, bahkan mungkin sebelum itu. Sementara batas akhir pendidikan menurut al-Ghazali adalah tidak ada, dalam artian selama hayatnya manusia wajib menuntut ilmu (pendidikan), dan bisa berhenti ketika sudah mati.

Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan seumur hidup (live long education) dan ajaran Islam “Tuntutlah ilmu mulai dari kandungan ibu sampai ke liang lahad (al-Hadits). Mengenai proses pengajaran, al-Ghazali mengutip sebuah hadits:
“Seorang anak pada tujuh hari kelahirannya disembelihkan hewan aqiqah dan diberi nama yang baik serta dijaga kesehatannya. Ketika telah berusia 6 tahun, didiklah ia. Ketika berusia 9 tahun, latihlah ia hidup mandiri, dipisahkan dari tempat tidur orang tuanya. Ketika berusia 13 tahun, berilah sanksi bila ia meninggalkan shalat. Setelah usia 16 tahun, nikahkanlah. Setelah itu lepaslah tanggung jawab orang tua terhadap segala perbuatan anaknya, seraya berkata di hadapannya; Aku telah mendidikmu, mengajarmu, menikahkanmu, maka aku berlindung kepada Allah dari fitnahmu di dunia dan siksamu di akhirat.” (HR. Ibnu Hibban dar Anas bin Malik).

Dari uraian tersebut di atas, bisa kita rumuskan, bahwa pendidikan menurut al-Ghazali adalah “Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna”.

Selanjutnya, pembahasan ini akan difokuskan pada persoalan-persoalan yang terkandung dalam pendidikan yang terkait langsung dengan manusia sebagai pendidik (guru/dosen/seprofesinya), sehingga unsur-unsur pendidikan yang akan dibahas adalah unsur-unsur yang bersentuhan langsung dengan sikap dan tugas seorang pendidik. Dalam kaitan ini kita akan membahas persoalan tersebut dengan memakai pisau analisa al-Ghazali. Kita akan masuk pada pembahasan pemikiran al-Ghazali tentang manusia kaitannya sebagai pendidik.

C. Mengenal Sang Pendidik
Menurut Abudin Nata, secara esensial pendidikan (Islam) –setidaknya- terdiri dari tiga unsur pokok; yakni pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan. Ketiga unsur ini akan membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen tersebut, maka hilanglah hakikat dari pendidikan Islam. Oleh karena dalam memberikan pendidikan dari guru kepada murid atau dari pendidik kepada peserta didik memerlukan sebuah materi untuk mencapai tujuan, maka menurut penulis materi juga merupakan komponen inti dalam pendidikan Islam.

Dari situ, ketika komponen-komponen pendidikan yang lain seperti ruang/ gedung, peralatan, kursi/ meja tidak ada, pendidikan Islam akan tetap bisa dilaksanakan asalkan komponen inti (guru, murid, tujuan, dan materi) sudah terpenuhi. Meski demikian, dalam tulisan ini, yang akan kita bahas secara detail (terperinci) adalah persoalan pendidik dan etikanya (sikap dan tugasnya) dalam Islam berdasarkan pada pisau analisa al-Ghazali.

Kata pendidik (guru/dosen/seprofesinya) berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa inggris disebut Teacher; dan dalam bahasa Arab –antara lain- disebut Mu’allim, artinya orang yang banyak mengetahui dan biasanya digunakan para ahli pendidikan sebagai sebutan untuk guru. Selain itu ada istilah Mudarris, tetapi masih tidak begitu populer dibandingkan dengan sebutan Mu’allim. Ada lagi istilah Muaddib (orang yang mengajar di lingkungan istana), Ustadz (sebutan guru di bidang agama yang sering dipakai di Indonesia dan Malaysia), Syaikh/ Mursyid (sebutan untuk guru tasawuf), juga Kyai, Ajengan, Buya, serta Tuan sebagaimana yang sering digunakan masyarakat Minangkabau Sumatera Barat, seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Cikditiro, dan lain sebagainya.

Dalam al-Qur’an sebutan untuk pendidik lebih banyak lagi, seprti : al-’Alim/Ulama, Ulu al-’Ilm, Ulu al-Bab, Ulu al-Absyar, al-Mudzakir, al-Muzakki, dan al-Murabbi yang kesemuanya tersebar pada ayat-ayat al-Qur’an. Sementara dalam al-Hadits kata pendidik –antara lain- disebut dengan istilah ’Alim, seperti dalam hadits yang artinya: ‘jadilah orang yang ’alim (pendidik), atau orang yang belajar, atau pendengar (ilmu), atau pecinta (ilmu); dan jangan menjadi orang yang kelima (yang tidak memilih salah satu dari posisi tersebut).

Keberadaan pendidik sangatlah penting dan menentukan dalam dunia pendidikan. Pendidik yang merencanakan dan menjabarkan persoalan-persoalan yang terkait dengan pendidikan. Tanpa pendidik, pendidikan mustahil bisa berjalan dengan baik; sehingga dikatakan, pendidik merupakan komponen pendidikan yang paling penting di antara yang penting. Persoalannya kemudian adalah pendidik yang bagaimanakah yang dianggap komponen yang paling penting dalam pendidikan? Apakah setiap orang bisa dianggap sebagai pendidik asalkan dia bisa memberikan penuturan kepada orang lain? Ataukah bagaimana?

Memang kita masih beranggapan bahwa setiap orang bisa menjadi pendidik meskipun bukan lulusan akademis di bidang keguruan, sehingga muncul istilah pendidik biasa (tidak profesional) dan pendidik profesional. Pendidik profesional adalah pendidik yang mempunyai keahlian khusus -disamping merupakan lulusan dari akademi di bidang keguruan (dalam sistem pendidikan Indonesia disahkan melalui akta IV). Sementara pendidik tidak profesional adalah setiap orang yang bisa mengajar dan tidak memiliki keahlian spesifik -disamping bukan merupakan lulusan akademi keguruan. Dalam hal ini, yang menjadi fokus pembahasan adalah pendidik yang profesional, baik di lembaga-lembaga pendidikan manapun; dan memang keberadaan pendidik itu harus memiliki kompetensi profesionalitas.

Selain kedudukan seorang pendidik sangatlah penting, pendidik adalah figur yang terhormat dan juga mulia. Hal ini sebagaimana ungkapan al-Ghazali, “Makhluk yang paling mulia di kerajaan langit adalah manusia yang mengetahui, mengamalkan dan mengajar. Ia seperti matahari yang menerangi dirinya dan orang lain…” Dari pernyataan tersebut dapat dipahami betapa besar dan pentingnya profesi pendidik dibandingkan dengan profesi yang lain. Pendidik menjadi perantara antara manusia –dalam hal ini peserta didik- dengan penciptanya, yakni Allah SWT. sehingga bisa dikatakan tugas pendidik sama seperti tugas para utusan Allah.

Rasulullah, sebagai Mu’allimul Awwal fil Islam (pendidik pertama dalam Islam) telah mengajarkan ayat-ayat Allah kepada manusia, menyucikan jiwa dari dosa, menjelaskan yang baik dan buruk, yang halal dan batal, menceritakan masa silam dan memprediksikan masa depan. Dengan demikian secara umum tugas pendidik adalah sama dengan tugas para Rasul. Pendidik mengajarkan ilmunya kepada manusia. Tidak cuma itu, dia bertanggung jawab kepada peserta didiknya, memberi petunjuk kepada peserta didik dalam meniti kehidupan, membekalinya dengan budi pekerti, etika, akhlak, dan lain-lain yang berguna bagi kehidupannya.

Oleh karena begitu besar dan pentingnya posisi pendidik, Moh. Athiyah al-Abrasy, yang selanjutnya dikutip oleh Abudin Ibnu Rusn, mengatakan tentang sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik dalam mengemban tugasnya, sebagai berikut: zuhud, tidak mengutamaka materi, bersih tubuhnya, jauh dari dosa, bersih jiwanya, tidak riya, tidak dengki, ikhlas, pemaaf, mencintai dan memikirkan peserta didik seperti mencintai dan memikirkan anaknya, mengetahui tabiat peserta didik dan menguasai materi.

Jadi betapa beratnya sifat-sifat dan apa yang disyaratkan kepada pendidik, sehingga kalau mau jujur, jarang sekali pendidik yang dapat memenuhi persyaratan seperti tersebut di atas. Dari situ, jika ingin meningkatkan kualitas dan moral pendidikan, harus ada seleksi yang ketat pada setiap calon pendidik. Salah satu upaya terdekat yang bisa dilakukan adalah lembaga pendidikan kita harus mempersiapkan dan membekali para peserta didik dengan ilmu-ilmu keguruan sesuai dengan persyaratan tersebut di atas. Jelasnya, meminjam istilah Zamroni, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sasaran sentral yang harus dibenahi adalah kualitas (moral –pen.) pendidik dan kualitas pendidikan pendidik.

Sayangnya, lembaga pendidikan kita tampaknya lebih condong berkiblat pada ilmu-ilmu keguruan yang ditelorkan oleh ilmuwan Barat, sehingga peserta didik kita lebih akrab dengan pemikiran Abraham Maslow, Siegmend Frued, Paulo Freire, Ivan Illich, John Dewey, Emil Durkheim, Karl Marx, Hegel, Marx Weber, dll. Padahal pemikiran mereka kurang berkaitan dan kurang menyentuh pada tataran moral (akhlak). Akibatnya, para pendidik kita juga kurang memperhatikan pembentukan akhlakpeserta didik, maka wajarlah jika dewasa ini akibat buruk itu kembali kepada pendidik; pendidik menjadi kurang dihargai, kurang dihormati, kurang digugu dan ditiru.

Memang tidak salah jika kita mengenal teori-teori Barat dan mempraktekkannya –jika tidak bertentangan dengan moral dan budaya kita- dalam pendidikan. Yang salah adalah melupakan karya-karya tokoh pendidikan Muslim seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Jama’ah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Miskawaih, Muhammad Abduh, dll. Padahal kualitas mereka tidak kalah dengan tokoh-tokoh pendidikan Barat. Al-Ghazali sendiri telah membentangkan secara jelas apa yang seharusnya dilakukan oleh pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar.

Lebih dari itu, para pendidik dari Timur Tengah, khususnya di kalangan Muslim, sangat memperhatikan pembentukan kesempurnaan manusia. Mereka tidak hanya menekankan pemupukan intelektualitas dengan melupakan aspek moralitas atau sebaliknya, namun mereka berusaha menyeimbangkan keduanya, agar apa yang diberikan lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Begitulah konsep pendidikan yang dicetuskan oleh para ahli pendidikan Muslim pada umumnya.

D. Etika Pendidik Perspektif Al-Ghazali & Analisis
Selanjutnya, berkaitan dengan etika (sikap, perilaku, dan tanggung jawab) seorang pendidik profesional dalam menjalankan tugasnya, al-Ghazali mengemukakan beberapa hal yang harus dimiliki dan dilakukan seorang pendidik. Hal ini sebagai landasan etika-moral bagi para pendidik (guru/dosen/seprofesinya). Gagasan-gagasan al-Ghazali tersebut antara lain sebagai berikut.

Pertama) Pendidik merupakan Orang Tua bagi Peserta Didik.
Seorang pendidik harus memiliki kasih sayang kepada peserta didiknya sebagaimana kasih sayangnya terhadap anaknya sendiri, jika ia ingin berhasil dalam menjalankan tugasnya. Sebuah hadits menyatakan: “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seperti seorang ayah bagi anakny”. Hadits tersebut menuntut seorang pendidik agar tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi harus bertanggung jawab penuh seperti orang tua kepada anak. Jika setiap orang tua memikirkan masa depan anaknya, bagaimana anaknya besok hidup, maka pendidik pun harus memikirkan masa depanpeserta didiknya. Sayangnya, interaksi belajar antara pendidik dan peserta didik saat ini kurang mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak. Pendidik sering tidak bisa tampil sebagai figur yang pantas diteladani oleh peserta didik, apalagi sebagai orang tua.

Oleh karena itu, seringkali pendidik dipandang dan dinilai oleh peserta didik sebagai orang lain yang mengajar dan kemudian menerima bayaran. Kalau demikian, bagaimana pendidik akan bisa mengarahkan, membimbing, serta memberi petunjuk kepada peserta didiknya menuju pendewasaan diri dan kehidupan yang mandiri. Dari itu, waspadalah wahai para pendidik, perankanlah profesi anda seperti orang tua yang bertanggung jawab penuh kepada anak, jangan sia-siakan tugas mulia anda dan jangan lengah dalam menanamkan nilai-nilai etik-agamis kepada parapeserta didik. Patut direnungkan apa yang dikatakan al-Ghazali; “Hak guru (pendidik) atas muridnya (peserta didik) lebih agung dibanding hak orang tua terhadap anaknya. Orang tua –sering- hanya menjadi penyebab adanya anak sekarang di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal”.

Kedua) Pendidik sebagai Pewaris Para Nabi
Dalam menjalankan tugasnya, pendidik harus memposisikan diri seperti para Nabi, yakni mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah SWT. dan bukan mengejar materi. Para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”

Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.”

Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas -yang bernilai ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.

Ketiga) Pendidik sebagai Pembimbing bagi Peserta Didik
Di samping dengan rasa ikhlas dan kasih sayang, pendidik harus membimbing peserta didik dengan sabar dan tekun. Pendidik harus memberikan pengarahan kepada peserta didik agar mempelajari ilmu secara sistematis, setahap demi setahap. Hal ini karena manusia tidak bisa merangkum ilmu secara serempak dalam satu masa perkembangan. Di samping itu pendidik jangan lupa memberi nasihat kepada peserta didik bahwa menuntut ilmu itu bukan dengan niat mencari pangkat dan kemewahan dunia, namun menuntut ilmu hakikatnya adalah untuk mengembangkan ilmu itu sendiri, menyebarluaskannya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Hal itu sebagaimana pernyataan al-Ghazali; “Hendaknya seorang pendidik tidak lupa memberikan nasihat kepada murid (peserta didik –pen.), yakni dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai tingkat sebelumnya; dan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Setelah itu menjelaskan kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah; bukan untuk menjadi kepala dan mencari kemegahan.”

Keempat) Pendidik sebagai Figur Sentral bagi Peserta Didik
Al-Ghazali memberi nasihat kepada para pendidik agar memposisikan diri sebagai teladan dan pusat perhatian bagi peserta didiknya. Ia harus memiliki kharisma yang tinggi. Ini merupakan faktor penting bagi pendidik untuk membawa peserta didik ke arah yang dikehendaki. Di samping itu, kewibawaan juga menunjang perannya sebagai pembimbing, penuntun, dan penunjuk jalan bagi peserta didik. Disamping pendidik sebagai orang tua peserta didik dan sifat kasih sayang yang dimilikinya, adalah bijaksana apabila pada saat tertentu pendidik juga sebagai teman belajar peserta didik–sehingga terjadi proses dialogis. Hal ini dilakukan agar tidak salah arah dalam memberikan bimbingan ke arah terwujudnya cita-cita pendidikan yang dikehendaki.

Sebaliknya, jika wibawa pendidik sudah tidak ada, maka akan dapat mengganggu jalannya proses pendidikan. Oleh karena itu, peran pendidik sangatlah penting; dan dalam menjalankan peranannya pendidik harus berwibawa di hadapan para peserta didik. Upaya yang harus dilakukan dalam memperoleh wibawa adalah, mempunyai intelektual yang tinggi, memperhatikan prinsip-prinsip belajar, dan kasih sayang terhadap peserta didik. Pendidik tidak boleh membesar-besarkan kesalahan peserta didik, mengejeknya, dan membuka aib di depan teman-temannya.

Pendidik harus pandai-pandai memberi nasihat kepada para peserta didik. Dalam menegur dan memperingatkan peserta didik yang salah, tidak boleh secara terang-terangan dan harus melalui sindiran atau pemanggilan secara khusus; sebab menegur peserta didik yang salah secara langsung dan terbuka, bisa membuat mereka malu, down, sakit hati, dendam, dan hilang rasa hormatnya. Hal itu bisa menghambat kelancaran prestasi belajarnya. Al-Ghazali menjelaskan; “Pendidik hendaknya menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran dan tidak dengan terus terang, tetapi dengan kasih sayang, tidak dengan cara mengejek; sebab kalau dengan cara terus terang, peserta didik akan takut kepada pendidik, dan/atau akan berani menentang pendidik”.

Kelima) Pendidik sebagai Motivator (Pendorong) bagi Peserta Didik
Sesuai dengan pandangannya bahwa manusia tidak bisa merangkum pengetahuan sekalaigus dalam satu masa, al-Ghazali menyarankan kepada para pendidik agar bertanggung jawab kepada satu bidang ilmu saja. Walaupun demikian, al-Ghazali mengingatkan agar seorang pendidik tidak mengecilkan, merendahkan dan meremehkan bidang studi lain. Sebaliknya, ia harus memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkaji berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kalaupun harus bertanggung jawab kepada berbagai bidang ilmu pengertahuan, pendidik haruslah cermat dan memperhatikan kemampuan peserta didik, sehingga bisa maju setingkat demi setingkat (steep by steep).

Itulah di antaranya yang dapat menyukseskan pendidik dalam proses belajar mengajar, yakni mendorong peserta didik agar senang dalam kegiatan belajar. Seoarang pendidik yang tidak bisa menciptakan suasana dimana peserta didiknya senang belajar, bisa dianggap 50 % telah mengalami kegagalan dalam proses belajar mengajar. Oleh karenanya usaha untuk mendorong peserta didik agar senang belajar adalah sangat perlu, dan hal ini bisa dilakukan dengan cara:

a). Disengaja (direncanakan):
1). Pendidik memberikan hadiah bagi peserta didik yang mampu atau hukuman bagi yang tidak mampu.
2). Memberi tahu hasil prestsasi peserta didik.
3). Memberikan tugas-tugas kepada peserta didik.
4). Mengadakan kompetisi yang sehat di antara para peserta didik.
5) Sering mengadakan ulangan.

b). Spontan (tanpa direncanakan):
1). Mengajar dengan cara yang menyenangkan sesuai dengan individualisasi peserta didik, sebab murid memiliki perbedaan dalam berbagai hal seperti: kemampuan, bakat, lingkungan, kebutuhan, kesenangan, dan lain-lain.
2). Menimbulkan suasana yang menyenangkan, misalnya dengan menyesuaikan materi pelajaran demgam metode, atau dengan menggunakan banyak metode dalam setiap kali tatap muka dengan peserta didik.

Dengan demikian, saran al-Ghazali agar pendidik selalu memperhatikan kemampuan peserta didik sangat perlu untuk diindahkan. Menurut al-Ghazali, Seorang pendidik sebagai penanggung jawab pada salah satu bidang studi tidak boleh menjelek-jelekkan mata pelajaran atau bidang studi yang lain, sebab hal itu merupakan budi tercela bagi pendidik dan harus dijauhi. Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang pendidik yang bertanggung jawab pada satu bidang studi membuka jalan seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mempelajari bidang studi yang lain. Kalau ia bertanggung jawab dalam berbagai bidang studi, hendaklah menjaga kemampuan peserta didik setingkat demi setingkat.

Keenam) Pendidik seharusnya Memahami Tingkat Kognisi (Intelektual) Peserta Didik
Menurut al-Ghazali, usia manusia sangat berhubungan erat dengan perkembangan intelektualnya. Anak berusia 0-6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 6-9 tahun, anak berusia 6-9 tahun berbeda dengan anak usia 9-12 tahun, dan seterusnya. Atas dasar inilah al-Ghazali mengingatkan agar pendidik dapat menyampaikan ilmu dalam proses belajar mengajar dengan cermat dan sesuai dengan perkembangan tingkat pemahaman peserta didik. Dari itu metode yang digunakan harus tepat dan sesuai. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Pendidik hendaklah menyampaikan bidang studi yang sesuai menurut tenaga pemahaman peserta didik”. Jangan memberikan bidang studi yang belum saatnya untuk diberikan, nanti peserta didik lari atau otaknya tumpul.

Dalam kaitan ini Whiterington, yang selanjutnya dikutip Abudin Ibnu Rusn, menulis tentang periode pertumbuhan manusia sejak lahir sampai umur 3 tahun; dari umur 3 tahun sampai 6 tahun; 6 tahun hingga 9 tahun; 9 tahun hingga 12 tahun; 12 sampai 15; 15 sampai 18; dst. Meurutnya, pada periode-periode tersebut manusia memiliki tanda dan aktivitas yang berbeda baik fisik maupun psikis. Oleh karena itu, pendidik harus mengikuti perkembangan intelektual (kecerdasan) peserta didik, sehingga bisa mengetahui gejala psikis mereka dan bisa memilih metode mengajar dengan tepat.

Hal ini sangat relevan dengan asas individualisasi peserta didik, yakni ada yang pandai, setengah pandai, dan bodoh. Ada peserta didik yag aktif masuk, ada yang setengah aktif, dan ada yang tidak aktif. Dengan mengetahui kondisi peserta didik yang seperti itu, dimungkinkan pendidik tidak akan memberikan materi dan pertanyaan yang salah arah, seperti memberikan materi dan pertanyaan yang terlalu mudah bagi peserta didik yang pandai, atau sebaliknya memberikan pertanyaan yang terlalu sulit untuk peserta didik yang bodoh.

Pendidik juga akan lancar memberikan materi pada peserta didik yang aktif masuk, pun bisa sedikit mengulang materi yang telah diisampaikan kepada peserta didik yang kurang aktif –yang mungkin kekurangaktifannya disebabkan karena sakit atau yang lain yang tidak bisa disalahkan. Dengan begitu pendidik akan selalu menjadi pusat perehatian peserta didik, mereka pun tidak menyepelekan dan tetap menghormati pendidik.

Ketujuh) Pendidik sebagai Teladan bagi Peserta Didik
Dalam rangka mengajak manusia ke jalan yang benar, Rasulullah dibekali oleh Allah akhlak yang mulia sehingga beliau menjadi contoh yang baik (teladan) bagi setiap umat manusia. Apa yang keluar dari lisannya sama denga apa yang ada di dadanya, sehingga perbuatannya pun sama dengan perkataannya. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik juga harus demikian dalam mengamalkan ilmunya, tindakannya harus sesuai dengan apa yang telah dinasihatkan kepada peserta didik. Ajaran fundamental yang harus diberikan adalah yang berkaitan dengan etika, moral (akhlak), dimana semuanya terhimpun dalam ajaran agama.

Di negara kitra (Indonesia), pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur … dan seterusnya. Dengan begitu, pendidik sebagai orang yang paling berperan dalam pendidikan, sebelum melaksanakan tugasnya, harus menjadi orang yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur). Tanpa memenuhi persyaratan ini, mustahil akan terwujud manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan rumusan di atas.

Para pendidik dalam melaksanakan tugasnya, ibarat orang yang akan memberikan sesuatu kepada orang lain. Mana mungkin pendidik tersebut bisa memberikan sesuatu yang tidak dimiliknya. Untuk memberikan bekal iman dan takwa kepada peserta didik, pendidik harus lah orang yang beriman dan bertakwa; sehingga tepat apa yang dirumuskan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989, bahwa untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, ia harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Berkaitan dengan ini al-Ghazali mengatakan:
“Perumpamaan guru yang membimbing terhadap murid yang dibimbing itu seperti ukiran dari tanah dan bayangan dari kayu. Maka bagaimanakah tanah itu akan terukir oleh sesuatu yang tidak ada ukirannya, dan kapankah bayangan itu lurus kalau kayu itu sendiri bengkok?”

Untuk itulah wahai para pendidik, amalkan ilmu anda, jangan berlainan antara kata dan perbuatan ingat dan camkan dua ayat di bawah ini; (1) “Mengapa kau suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedangkan kamu melupakan (kewajiban)mu sendiri … “(QS. Al-Baqarah: 44). (2) “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 3). Dua ayat ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang kita sampaikan kepada orang lain hendaknya telah kita kerjakan terlebih dahulu. Pendidik jangan sampai menyeru terhadap peserta didik dengan sesuatu yang si pendidik sendiri tidak megerjakannya. Dengan kata lain, si pendidik harus mengajarkan sesuatu yang bermanfaat, dan kemanfaatan itu telah dilaksanakan oleh si pendidik sepanjang kemampuannya.

E. Penutup
Berdasarkan uraian panjang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa al-Ghazali merupakan sosok pemikir Muslim yang betul-betul menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai basic pemikirannya. Dalam kaitannya dengan manusia sebagai pendidik al-Ghazali menawarkan beberapa gagasan yang bermuatan rasional dan moral. Al-Ghazali memberikan konsep pendidik (guru/dosen/seprofesinya) yang bersifat humanis dan saling pengertian. Dengan begitu, eksistensi pendidik dan peserta didik (murid/mahasiswa/seprofesinya) tetap dihargai. Pendidik tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada peserta didik. Peserta didik juga harus hormat kepada pendidik. Pendidik memberikan hak bertanya, berpendapat, dan berperilaku sesuai dengan bakat, potensi, dan kecendrungan peserta didik. Walaupun begitu, peserta didik harus tetap sopan dan santun kepada pendidik.

Konsep pendidik yang dirumuskan al-Ghazali ini tampaknya masih relevan untuk diaplikasikan dalam kegiatan proses belajar mengajar di masa sekarang –tentunya dengan berbagai pengolahan, karena konsep tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas pendidik dan peserta didik, juga akan mendorong terciptanya akhlak yang mulia di kalangan peserta didik, sebagaimana hal yang demikian itu menjadi cita-cita pendidikan Islam khususnya, dan pendidikan nasional bahkan dunia umumnya.

Dengan demikian, studi tentang pemikiran para ulama Islam klasik amat perlu untuk dilanjutkan, meskipun penggalian konsep-konsep ilmuwan Barat juga perlu dilakukan. Konsep pendidik yang bernuansa filosofis dan sufistik dari al-Ghazali dan sarjana Muslim lainnya amat relevan dan perlu untuk diterapkan, terutama dalam membentuk mental keagamaan dan akhlak yang mulia yang merupakan inti (lub) dari pendidikan Islam. Hal ini sangat penting mengingat sebagian besar peserta didik dan juga para pendidik semakin menurun moralitasnya, dan semakin terasa dampaknya bagi kehidupan sosial; dan ini menimbulkan kekhawatiran serta sikap pesimistis dalam menyiapkan kader pemimpin bangsa di masa depan.

DAFTAR RUJUKAN
Al-Qur’an dan Terjemahnya oleh Depag R.I. 1994. Semarang: Kumudasmoro Grafindo
Al-Hadit al-Nabawy
Al-Ghazali. 1990. Ihya Ulumiddin. Juz II. Penyunting: Moh. Jamil al-Aththar. Beirut: Darul Fikr
______. 1990. Ihya Ulumiddin. Jilid I. Terj. H. Moh. Zuhri. Semarang: CV. Asy Syifa
______. tanpa tahun. Memahami Hikmah Penciptaan Makhluk. Terj. Nur Faizin dari ”Al-Hikmah fi Makhluqatillah”. Yogyakarta: Mitra Pustaka
______. tanpa tahun. Syarah Ayyuhal Walad. Surabaya: Al-Hidayah
Alkaf, Idrus. tanpa tahun. Kamus tiga Bahasa Al-Manar; Arab-Indonesia-Inggris. Surabaya: Karya Utama
Cholis, Nur. 2002 30 Oktober. Paradigma Pendidikan Islam Holistik. Makalah disampaikan dalam Studium General HMJ PAI FATA IAIN Sunan Ampel Surabaya di Gedung Dharma Wanita IAIN
Echols, John M. & Hasan Shadily. 1995. Kamus Inggris Indonesia. Cet. 21. Jakarta: Gramedia
Fakhry, Madjid. 1996. Etika dalam Islam. Terj. Zakiyuddin Baidhawy dari “Ethical Theories in Islam”. Yogyakarta: Pusat studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta & Pustaka Pelajar
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Cet. III. Terj. Agung Prihantoro & Fuad Arif Fudiyartanto dari “The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fahmi, Muhammad. 2005 Edisi Maret. “Epistemologi Al-Ghazali: Penalaran Kritis terhadap Sekte-Sekte Islam”. Wacana. Surabaya: Kopertais IVJatim
Hamim, Nur. 2002 30 Oktober. Membangun Paradigma Pendidikan Islam Holistik. Makalah disampaikan dalam Studium General HMJ PAI FATA IAIN Sunan Ampel Surabaya di Gedung Dharma Wanita IAIN
Haris, Abdul. 2001. ”Pendidikan Islam”, Nizamia Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam Vol. 4. No. 2. Surabaya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Hakim, Abdul Hamid. tanpa tahun. Mabadi Awwaliyah. Jakarta: Sa’adiyah Putra
Ibnu Rusn, Abidin. 1998. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nata, Abudin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Grasindo
______. 2001. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid; Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Sudjana, Nana. 2002. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Cet. 6. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Syah, Muhibbin. 2002. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cet. Ke 7,. Bandung: Remaja Rosdakarya
Usman, Moh. Uzer. 2002. Menjadi Guru Profesional. Edisi Kedua. Cet. Ke 14. Bandung: Remaja Rosdakarya
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing

DITULIS OLEH: MUHAMMAD FAHMI (Alumni Pascasarjana Filsafat (Pendidikan) UGM Yogyakarta; saat ini Mengabdi di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya).

Tidak ada komentar: