Senin

Mengembalikan Makna Pendidikan Dalam Kerangka Siswa Sebagai Pusat Proses Pembelajaran

Salah satu penyebab rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia terletak pada kegagalan pendidikan dalam mengemban amanahnya, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan di Indonesia yang cenderung mengikuti tuntutan dunia industri-kapitalis ternyata membawa banyak permasalahan baru. Dunia pendidikan Indonesia perlu melakukan redefinisi dan reorientasi dalam mengembalikan makna, fungsi dan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Salah satu pendekatan yang perlu ditinjau ulang adalah mengenai siswa sebagai subjek pembelajar. Mengenali, memahami dan menyentuh setiap aspek/potensi siswa adalah kunci keberhasilan proses belajar-mengajar. Konsekuensi logisnya, guru/pendidik harus menyadari adanya individual differences pada siswa. Dari sini, guru/pendidik dapat mengimplementasikan metode dan kurikulum serta media dan instrumen pendidikan yang menunjang optimalisasi potensi siswa. Dengan demikian, diharapkan guru dapat membantu memfasilitasi dan mengoptimalkan potensi siswa selama proses belajar-mengajar.

A. Pendahuluan
Perspektif global dengan segala tantangannya menuntut seseorang untuk survive, saat manusia mesti berhadapan dengan teknologi dan mekanisasi yang membuat arus komunikasi dan siklus produksi makin diperpendek. Dalam situasi yang berubah dengan cepat dan serba tidak tentu, dituntut sebuah kearifan agar seseorang, atau masyarakat tetap memiliki kepribadian dan kemandiriannya.

Seseorang atau masyarakat dengan kapasitas dan kualitas berpikir global, mampu berperan dan menciptakan kemasalahatan bagi lingkungannya merupakan bagian dari visi reformasi. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam visi mikro dan makro pendidikan nasional: “Terwujudnya individu manusia baru (masyarakat Indonesia baru) yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak yang tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak asasi manusia, serta berpengertian dan berwawasan global” (Mulyasa, 2006: 19).

Dunia pendidikan (sekolah) dianggap sebagai institusi yang bertanggung jawab untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sebagaimana visi pendidikan di atas. SDM yang mampu untuk bersaing dalam era globalisasi dan pasar bebas. SDM yang mampu bertahan dalam tekanan kompetisi dengan bangsa lain dalam hal teknologi dan informasi. Jika pendidikan gagal memprediksi kebutuhan SDM di masa yang akan datang, kesenjangan manusia dengan kehidupan (dalam lingkup spesifik; lapangan kerja) akan terjadi.

Dihadapkan dengan tuntutan dunia kerja, pendidikan berlomba untuk mengedepankan bidang pengetahuan dan keterampilan tertentu yang “laku” di pasaran. Muncul semacam gengsi, rasa lebih unggul pada siswa yang dapat atau berhasil memasuki fakultas-fakultas yang dianggap atau difavoritkan. Bidang teknik, bahasa asing, dan ekonomi diperebutkan oleh para siswa yang pandai atau kaya. Siswa-siswa berprestasi terbaik di sekolahnya, bersaing untuk memperebutkan fakultas yang bergengsi, walau mahal, tapi cepat dapat kerja.

Ketika berhadapan dengan dunia terbuka, lembaga pendidikan di Indonesia harus mengakui ketertinggalannya bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan di Singapura, Malaysia, dan Filipina. Data berikut menunjukkan kualitas mutu pendidikan di Indonesia yang jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain:

Hasil studi Human Develompent Index (HDI) dengan 17 indikatornya, Indonesia menduduki peringkat ke 112 dari 175 negara yang disurvai, tiga tingkat di bawah Vietnam. Demikian pula The Political Economic Risk Country (PERC) mela-\porkan Indonesia ada pada peingkat 12 dari 12 negara yang disurvai, satu peringkat di bawah Vietnam. Selanjutnya The Consultation Mathematic and Science Study Repeat (TIMSS-R 1999) melaporkan bahwa siswa SLTP Indonesia menempati peringkat ke 32 untuk ilmu alam dan 34 untuk matematika, dari 38 negara yang disurvai di Asia, Australia dan Afrika (data Depdiknas, dalam Departemen Agama RI, 2005).

Sistem pendidikan Indonesia masih menciptakan para worker, sementara para pelajar di negara tetangga, perlahan bergerak menuju employee society. Employee society adalah syarat bagi lahirnya masyarakat informasi. Dijelaskan oleh Drucker (Rakhmat, 1997) employee (teknisi) adalah pekerja yang menguasai teknologi dan informasi sebagai mean of production. Employee mampu untuk memutuskan “apa yang harus dilakukan pada mesin.” Sebaliknya, worker (pekerja) menggunakan keterampilan yang relatif menetap, tidak mampu meningkatkan pengetahuan akibat tidak menguasai informasi.

Setidaknya, terdapat dua macam kesenjangan antara pendidikan dan lapangan pekerjaan. Pertama, berkaitan dengan kualitas SDM atau output pendidikan yang tidak sesuai dengan kualifikasi job demand. Kedua, ketersediaan lapangan kerja tidak sebanding dengan peningkatan jumlah angkatan pencari kerja pada setiap tahunnya. Respon terhadap kedua permasalahan di atas memerlukan pendekatan dan penanganan yang berbeda, atau bahkan menimbulkan dilema. Disatu sisi pendidikan dituntut untuk menyediakan kualitas output yang memenuhi kebutuhan pasar, di sisi lain berkaitan dengan persoalan yang lebih mendasar, yaitu cita-cita ideal atau tujuan pendidikan yang sebenarnya. Sangat tidak diharapkan jika pendidikan di Indonesia hanya dapat menghasilkan manusia-manusia demi memenuhi tuntutan pasar.

Pendidikan di Indonesia yang cenderung mengikuti tuntutan dunia industri-kapitalis ternyata membawa banyak permasalahan. Alih-alih mampu bersaing dalam era globalisasi dan pasar bebas, SDM Indonesia terpuruk dan hanya mampu menjadi malah menjadi “proletar” dinegaranya sendiri. Rendahnya mutu pendidikan dan kurangnya kemahiran dalam penguasaan bahasa Inggris dan komputer membuat lulusan sekolah di Indonesia ketinggalan jauh dari tenaga kerja lulusan dari lembaga pendidikan di Asean.

Dicanangkannya “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” pada tanggal 2 Mei 2002, merupakan upaya serius pemerintah untuk mengatasi permasalahan dalam pendidikan. Sangat disadari, lewat pendidikanlah perubahan sosial dapat berjalan secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan perlu melakukan redefinisi, menetapkan arah dan tujuannya kembali demi pembangunan SDM, sebagaimana tujuan pendidikan nasional, yang dirumuskan GBHN 1993;

“Pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab dan produktif serta sehat jasmani dan rohani” (Munandar, 1999).

Terkait dengan mutu SDM, Tilaar (2000) menyarankan bentuk pendidikan pemberdayaan. “…pendidikan pemberdayaan yaitu yang bertujuan memberdayakan setiap anggota masyarakat untuk dapat berprestaasi setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan yang telah dikembangkan didalam diri sendiri”. Dari sudat pandang lain, kualitas pendidikan dapat ditingkatkan melalui “adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan”.

Menghadapi kenyataan dan permasalahan yang berkaitan dengan upaya perubahan sosial dunia pendidikan Indonesia perlu menyadari kembali falsafah pendidikan. Institusi pendidikan perlu dibuat sadar agar tidak lagi “kewalahan dan pusing” karena kehilangan arah dan kendalinya. Pendidikan mestilah dapat membekali para pelajar dengan kecakapan atau keterampilan hidup (life skill) dan keterampilan dalam belajar (learning skill). Dua keterampilan tersebut mutlak diperlukan agar manusia mampu tidak hanya untuk survive, melainkan berviabilitas; tumbuh dan berkembang.

Berdasarkan latar belakang uraian di atas, tulisan berikut berupaya untuk membahas beberapa hal berikut: (1) kesenjangan tujuan dan makna pendidikan di Indonesia berkaitan dengan tuntutan dunia kerja, (2) optimalisasi potensi peserta didik, meliputi aspek inteligensi, bakat dan kreativitas serta potensi pribadi lain yang dimiliki siswa dan (3) peran guru dalam memfasilitasi kegiatan belajar mengajar, serta pengimplementasian kurikulum yang menunjang optimalisasi potensi siswa.

B. Kesenjangan dalam Tujuan dan Makna Pendidikan
Dalam pengertian umum, pendidikan berarti usaha untuk mengubah perilaku agar lebih baik dan berkembang. Pendidikan memuat usaha yang disengaja, mengandung tujuan yang ingin dicapai serta merupakan hasil interaksi dengan lingkungan tertentu. Definisi yang lebih luas menekankan pada tiga aspek pengetian pendidikan (Tilaar, 2000). Pertama, pendidikan tidak dibatasi pada schooling belaka. Pendidikan mencakup sisi formal, pendidikan non-formal dan in-formal. Kedua, pendidikan bukan hanya mengembangkan inteligensi akademik. Ketiga, “tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and civilized human being).

Realita di sekolah-sekolah konvensional menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam memandang potensi siswa. Inteligensi masih dijadikan satu-satunya indikator penguasaan atau keberhasilan pendidikan. Para siswa masih dibebani aneka hapalan dan pengetahuan yang belum tentu akan terpakai dalam lapangan kehidupan kelak. Indikator penguasaan yang tampak dari tes prestasi siswa masih terlalu dangkal dalam menggali kemampuan dan daya serap siswa terhadap materi pelajaran. Tes objektif yang digunakan sebagai prediktor prestasi belajar (Ebtanas/UAN) hanya berkisar diseputar aspek hapalan dan pemahaman.

Tujuan pendidikan seringkali hanya untuk menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya agar dapat menjawab soal-soal yang diujikan. Siswa yang tidak mampu menyerap pengetahuan sebaik dan secepat temannya diberi nilai yang rendah. Sekolah lebih banyak menekankan pada penyelesaian materi dan bukan pada kemampuan belajar siswa. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan telah kehilangan tujuannya. Pendidikan hanya menjadikan manusia alat yang suatu saat akan digunakan sebagai salah satu dari faktor produksi dalam sistem kapitalisme.

Tren pendidikan yang menonjolkan aspek intelektual berdampak pada muncul-nya beberapa stigma. Kemampuan dalam bidang ilmu-ilmu eksak dinilai lebih tinggi daripada kemampuan dibidang bahasa, sosial dan humaniora. Hal ini berkaitan langsung dengan ketersediaan lapangan kerja dalam bidang eksak. Di sekolah, siswa yang mengambil jurusan IPA dipandang lebih pintar, lebih bergengsi dan diramalkan memiliki masa depan yang lebih cerah.

Konsep inteligensi menjadi lebih penting perannya dibandingkan dengan aspek lain seperti bakat, kreativitas dan aspek psikologis lain yang dimiliki siswa. Inteligensi yang dimaksud yaitu penguasaan atas materi, dengan indikator skor tes yang mampu dijawab oleh peserta didik. Hal ini tentu saja terkait dengan standard nasional sistem evaluasi yang merupakan bagian dari perencanaan pengajaran (kurikulum pendidikan). Keadaan demikian menjadikan sekolah atau dunia pendidikan memfokuskan diri pada standar akademik yang terfokus pada penguasaan materi pelajaran. Siswa dianggap berhasil bila mendapatkan skor yang tinggi dan peringkat (ranking di kelas) yang memuaskan.

Fokus pendidikan yang tidak seimbang berdampak luas pada ketimpangan dan tereduksinya makna dan tujuan pendidikan. Berbagai persoalan lain muncul lalu turut memperkeruh dunia pendidikan di Indonesia. Tilaar (Mulyasa, 2006) mengemukakan ada 6 masalah pokok yang dihadapi sistem pendidikan Indonesia, yaitu (1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik, (2) tidak meratanya kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, (4) masalah status kelembagaan, (5) manajemen pendidikan nasional yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan (6) sumber daya yang belum profesional.

Berbagai permasalahan pendidikan yang terjadi merupakan konsekuensi dari kegagalan pendidikan. Jika dirunut kembali, beberapa poin yang menjadi permasalahan berkaitan dengan hal berikut:
1. Tujuan pendidikan nasional mengalami pendangkalan makna. Pendidikan seolah hanya sarana untuk mendapatkan jenjang pendidikan sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan.
2. Mutu pendidikan menurun akibat orientasi pendidikan yang sempit. Beragam pengetahuan yang didapatkan siswa ternyata tidak mampu/tidak berguna dalam menjawab berbagai tantangan dalam lapangan kehidupan.
3. Pendidikan terlalu terfokus pada aspek intelektual. Potensi lain yang dimiliki manusia seperti bakat, kreativitas dan aspek kepribadian kurang mendapatkan fasilitasi, siswa kurang optimal dalam mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi dirinya.
4. Pendidikan kurang memberikan perhatian dalam mengakomodir kemampuan siswa yang beragam tingkatan dan macamnya. Beberapa siswa menjadi unde-rachiever akibat penyamarataan perlakuan dalam proses belajar-mengajar dan dalam evaluasi pendidikan.

Berdasar poin-poin di atas, ada dua area of concern yang dapat dirumuskan dan dicoba untuk dibahas; pertama, berkaitan dengan potensi siswa sebagai input pendidikan dengan segala disposisi bawaan dan dinamika psikologisnya. Kedua, upaya pengoptimalan semua potensi siswa lewat interaksi belajar-mengajar antara guru-murid.

C. Mengenali Kembali Potensi Peserta Didik
Pendidikan nasional memiliki misi mikro dan makro, dengan jangkauan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Sebagai satuan misi terdekat, misi mikro pendidikan nasionakl jangka pendek, yaitu menghasilkan manusia yang mampu mengatasi krisis, “individu tersebut beriman dan bertaqwa, berbekal teknologi, dan kemampuan sosial dalam mengatasi krisis.(Mulyasa, 2006).

Kemampuan sosial dalam mengatasi krisis berkaitan dengan kesadaran akan kemampuan pribadi yang meliputi pemikiran, sikap, dan tindakan yang adekuat. Untuk menyiapkan berbagai kemampuan pribadi yang sanggup mengatasi krisis, pendidikan perlu kembali pada prinsip dan tujuan dasar pendidikan. Mengutip definisi yang dirumuskan Unesco (dalam Mulyasa, 2006), pendidikan harus didasarkan pada dua prinsip. Pertama, bersandar pada empat pilar belajar, yaitu learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to life together (belajar hidup dalam kebersamaan) dan learning to be (belajar menjadi diri sendiri). Kedua, belajar haruslah berlangsung sepanjang hidup (life long learning).

Proses belajar atau pendidikan melibatkan seluruh potensi seseorang. Aspek pribadi yaitu kognisi, afeksi dan perilaku, masing-masing memberi sumbangan bagi tujuan belajar yang diinginkan.

Sangat disayangkan, praktik pendidikan di sekolah formal kurang melibatkan segenap potensi yang dimiliki siswa. Kemampuan siswa semata didasarkan atas kemampuan inteligensi yang dikuantifikasi dalam skor IQ. Skor IQ menggambarkan konsep inteligensi, oleh karena itu hanya dapat diketahui lewat manifestasi perilaku individu yang terungkap lewat les inteligensi. Orang yang memiliki IQ tinggi ditandai melalui aktifitas yang efisien (cepat, mudah dan tepat) dalam menjawab butir-butir soal tes. Satu kesalahan konsep IQ; kemampuan inteligensi yang diukur hanya mengungkap sebagian kecerdasan ssaja, yaitu kecerdasan bahasa (pada sub-tes verbal) dan kemampuan matematis dan spasial saja (pada sub-tes ferformance).

Selain mengesampingkan potensi lain seperti bakat, kreativitas, motivasi dan aspek kepribadian yang lain, penekanan hanya pada inteligensi telah mereduksi arti inteligensi itu sendiri. Pada sekolah-sekolah konvensional, level pengajaran hanya mengungkap dua atau tiga aspek perilaku kognitif. Siswa hanya mengembangkan keterampilan menghapal, memahami dan sedikit penerapan pengetahuan yang didapatkan. Tiga level berikutnya yang merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi (kemampuan analisis, sintesis dan evaluasi) kurang diterapkan dalam pengajaran maupun dalam evaluasi pembelajaran.

Diperkenalkannya konsep baru tentang kecerdasan oleh Howard Gardner telah menawarkan cara pandang baru dalam memahami kecerdasan. Kecerdasan tidak lagi dipandang sebagai aspek kuantitas yang mengklasifikasikan orang dalam kontinum cerdas-tidak cerdas. Ada empat hal penting berkaitan dengan teori kecerdasan ganda dari Gardner (Hermina, 2005), yaitu; (1) setiap orang memiliki semua jenis kecerdasan tersebut, (2) kebanyakan orang dapat mengembangkan tiap aspek kecerdasan sampai pada level yang memadai, (3) tiap bagian kecerdasan bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks, dan (4) ada banyak cara untuk menjadi inteligen pada masing-masing kategori. Untuk mengingat jenis kecerdasan dari Gardner, DePorter, dkk (2005) mem-buat akronim SLIM-N-BIL; Spasial-visual, Linguistik-verbal, Interpersonal, Musikal-ritmik, Naturalis, Badan-kinestetik, Intra personal dan Logis-matematis.

Secara sederhana bakat merupakan susunan dari berbagai macam kemampuan yang ada pada diri seseorang. Dalam hal ini, bakat merupakan bagian dari kecerdasan secara umum, namun dalam wilayah yang lebih sempit dan bersifat spesifik. Jika ditinjau dari teori kecerdasan ganda dari Gardner, bakat menunjukkan suatu kualitas yang lebih baik (dalam suatu bidang) dibandingkan orang lain, walaupun, setiap orang memiliki potensi yang sama untuk berkembang. Berbagai hal lain dapat menjadi penentu, apakah suatu bakat dapat berkembang menjadi baik atau dapat menjadi suatu potensi yang teraktualisasikan.

Dunia pendidikan Indonesia telah merespon potensi bakat yang dimiliki oleh seseorang. Pemerintah bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Kreativitas menyepakati definisi tentang anak berbakat sebagai berikut: “Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-orang profesional diidentifikasi sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul… “ (Munandar, 1999: 23).

Kemampuan atau bakat yang dimaksud adalah potensi atau bakat yang telah nyata meliputi; kemampuan intelektual umum, kemampuan akademik khusus, kemam-puan berpikir kreatif-produktif, kemampuan memimpin, kemampuan dalam salah satu bidang seni dan kemampuan psikomotor (Munandar, 1999).

Dalam dunia praktis bakat dibagi atas bakat umum dibidang akademik (bakat skolastik) dan bakat vokasional (bakat dalam bidang pekerjaan). Beberapa jenis bakat dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, meliputi 1) bakat kognitif : inteligensi secara umum, kemampuan khusus dalam hal daya pikir, bahasa, matematika, 2) bakat psikomotor: keunggulan dalam hal kecepatan, ketelitian, estetik, keterampilan jari-jemari. 3) bakat psikososial: keahlian dalam kewirausahaan, kepemimpinan dan sebagainya (bandingkan dengan teori multiple intelligency dari Gardner).

Pembagian jenis bakat dimaksudkan sebagai sarana untuk mendeteksi/ menemukan bakat pada diri seseorang. Diharapkan bakat yang ada dapat lebih dikembangkan kearah yang lebih baik. Diharap, bakat dapat diwujudkan sebagai keahlian profesional atau diarahkan pada bidang pekerjaan atau profesi.

Sebagaimana kecerdasan, bakat juga merupakan suatu predisposisi (bawaan), suatu potensi yang menuntut ketersediaan lingkungan sebagai pendukung bagi teraktualisasinya suatu bakat. Kecerdasan dan bakat sebagai suatu potensi ditentukan pula oleh berbagai faktor seperti minat (merupakan aspek dari kepribadian), faktor kematangan (fisik dan mental), faktor latihan dan faktor dari lingkungan yang mendukung (masalah biaya, fasilitas, kemampuan fisik, dukungan sosial).

Salah satu potensi lain yang dimiliki seseorang adalah kreativitas. Jenis potensi ini tidak sejelas atau sepopuler inteligensi atau bakat. Dalam pengertian awam, kreativitas sering dimaknai secara sempit. Kreativitas dikaitkan dengan kemampuan menciptakan sesuatu yang berhubungan dengan seni, suatu barang unik. Orang kreatifpun, sering dianggap sebagai orang yang unik, nyeni, dengan perilaku yang spesifik pula. Kreativitas dianggap sebagai suatu bidang tertentu, suatu bakat khusus yang dimiliki hanya oleh orang tertentu.

Coleman dan Hammen (Rakhmat, 1996) mengemukakan pendapatnya mengenai berpikir kreatif; thinking which produces new methods, new concepts, new understanding, new inventions, new work of art. Ada tiga syarat dari berpikir kreatif menurut McKinnon (Rakhmat, 1996); melibatkan respon atau gagasan baru, dapat memecahkan persoalan secara realistis dan usaha untuk mempertahankan insight yang orisinal, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin.

Kreativitas memiliki dua aspek, yaitu aptitude, yang menggambarkan aspek kelancaran, kelenturan dan orisinalitas dan aspek non-aptitude (aspek afektif) yang menunjukkan kualitas kepribadian yaitu kepercayaan diri, keuletan, apresiasi estetik, kemandirian dan task commitment (Munandar, 1999).

Lebih jauh Hulbeck (Munandar, 1999) menjelaskan aspek afektif dari kreativitas; creative action is an imposing of one’s own whole personality on the enviromnent in an unique characterictic ways. Pribadi yang kreatif tampak pada sikap seperti kelonggaran dari keterikatan pada konvensi, memiliki aturan sendiri, cara sendiri, menyukai masalah yang tidak terlalu terstruktur. Pribadi kreatif memiliki fleksibilitas, ulet, berani mengambil resiko.

Unsur kreativitas sebagai bagian dari potensi selama ini kurang mendapat perhatian yang memadai dalam seting pendidikan. Dalam pendidikan (sekolah) justru kreativitas sering terhambat. Berbeda dengan kecerdasan, cara kerja yang diperlukan untuk berpikir kreatif menggunakan kemampuan berpikir divergen. Kemampuan berpikir divergen dicirikan dengan upaya mencari berbagai alternatif jawaban dari sebuah situasi yang problematik. Dalam pendidikan, tugas-tugas yang diberikan menuntut cara berpikir konvergen, yaitu mencoba menemukan satu jawaban yang paling tepat untuk menjawab persoalan. Dalam lingkup sekolah, seringkali potensi kreatif anak terhambat. Dikatakan Munandar (1999) di sekolah para guru lebih menyukai anak yang pintar dibanding anak yang kreatif.

Berbeda dengan inteligensi, konsep kreativitas belum terumuskan secara definitif atau secara operasional. Hal ini dikarenakan kesulitan dalam merumuskan konsep kreativitas yang masih majemuk dan multidimensional. Hal ini terkait pula dengan tidak adanya alat ukur yang objektif untuk mengetahui kreativitas.

Berdasarkan studi korelasi dan analisis faktor yang dilakukan oleh, hasil tes kreativitas dan tes inteligensi sama absahnya untuk mengukur atau sebagai indikator dari hasil prestasi akademik (Munandar, 1999).Torrance mengemukakan bahwa daya imajinasi, rasa ingin tahu dan orisinalitas dapat mengimbangi kekurangan daya ingat dalam suatu tes inteligensi. Disisi lain, Milgram mengatakan bahwa IQ saja tidak dapat meramalkan kreativitas dalam dunia nyata.

Sejauh ini konsep inteligensi dan kreativitas tampak bertentangan. Pada kenyataannya kemampuan berpikir konvergen dan divergen merupakan satu kesatuan dalam suatu struktur intelektual yang dimiliki seseorang. Pandangan yang menyentuh inteligensi dan kreativitas ada dalam konsep keberbakatan/giftedness. Dalam kemampuan intelektual tingkat tinggi yang dimiliki oleh orang berbakat/gifted ternyata unsur kreativitas dan unsur kepribadian (motivasi dan minat) memegang peranan yang turut mendukung pengaktualisasian potensi inteligensi. Lebih lanjut dijelaskan oleh Munandar (1999) bahwa keberbakatan (giftedness) merupakan konsep yang menggambarkan suatu keunggulan yang melibatkan kemampuan kecerdasan secara umum menjadi sebuah atau suatu keunggulan dalam hal kualitas yang dimiliki seseorang. Implikasi dari pengertian ini menggambarkan bahwa inteligensi saja (IQ) bukanlah suatu ukuran yang tepat untuk menggambarkan keberbakatan.

Giftedness, sebagaimana yang dikemukakan Renzulli dengan konsep three ring of cteativity (Munandar, 1999) mempersyaratkan dimilikinya tiga tandan (cluster) ciri yang saling mengait, yaitu kemampuan umum atau kecerdasan rata-rata, kreativitas dan pengikatan diri terhadap tugas (task commitment) sebagai motivasi internal yang cukup tinggi.

Berdasarkan uraian mengenai berbagai poyensi yang dimiliki oleh seseotang, dapat ditarik suatu benang merah, bahwa ketiganya (bakat, inteligensi dan kreativitas) merupakan potensi dasar yang penting dalam proses belajar. Tidak hanya belajar dalam konteks sekolah, ketiganya adalah modal seseorang untuk memecahkan persoalan dan beradaptasi dalam kehidupan.

Teori mengenai kecerdasan ganda menunjukkan adanya perbedaan antar individu. Pemahaman ini mengisyaratkan bahwa tiap orang itu cerdas. Kecerdasan tidak lagi diukur atas dasar “seberapa cerdas” melainkan dipandang sebagai kemampuan masing-masing orang untuk “cerdas dalam bidang tertentu”. Lebih jauh lagi, paham mengenai berbagai tipe kecerdasan telah memperluas sudut pandang kecerdasan sehingga berbagai bakat lebih dapat terakomodir dan berbagai potensi lebih dapat diaktualisasikan dan dioptimalkan.

Konsep keberbakatan yang melibatkan kemampuan inteligensi umum dan kreativitas dan aspek kepribadian memerlukan penanganan yang lebih menyeluruh dan terpadu. Merupakan tugas sekolah dan lembaga pendidikan lainnya untuk mengolah dan memfasilitasi berbagai potensi ini demi meningkatkan input dan output pendidikan. Dalam seting sekolah yang kondusif, yang memberikan porsi perhatian yang sama pada bakat, inteligensi dan kreativitas, potensi siswa dapat dioptimalisasikan.

D. Optimalisasi Potensi Siswa dalam Proses Belajar di Sekolah.
Sejak awal tahun 1980-an, saat mulai dikenalnya konsep kecerdasan ganda, lembaga pendidikan di Amerika mulai mengadopsi konsep Gardner dalam program-progran alternatif pendidikan (Sapphiro, 1998). Siswa yang dianggap tidak termotivasi, gagal atau putus sekolah dimasukkan dalam program jaring pengaman pendidikan. Program ini menerapkan kurikulum akademik standar yang dibuat berdasar konsep kecerdasan ganda dari Gardner.

Dalam waktu yang tidak jauh berbeda, konsep quantum learning mulai diujicobakan oleh Bobby DePorter, Eric Jensen dan Greg Simmons lewat program yang diberi nama Super Camp. Dengan meramu berbagai temuan ilmiah tentang proses belajar quantum learning menerapkan tiga keterampilan dasar yang sangat diperlukan dalam proses belajar. Tiga keterampilan dasar itu meliputi keterampilan akademis, prestasi fisik dan keterampilan hidup (Rakhmat, 1997).

Sistem kecerdasan ganda menekankan proses belajar dengan partisipasi aktif dan mengakomodasi minat siswa dalam strategi pembelajarannya. Dicontohkan Saphiro (1998) para siswa dapat mengadakan proyek khusus yang melibatkan masyarakat, kelompok belajar dengan beragam usia dan mengunjungi sumber materi pembelajaran. Model pembelajaran ini diterapkan untuk mempertahankan minat dan memaksimalkan potensi siswa.

Serupa dengan model pembelajaran di atas, strategi pembelajaran yang diterapkan quantum learning menekankan partisipasi aktif siswa untuk menenukan makna dan menciptakan kaitan materi dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini dalam pandangan Situmorang (2004) sebagai pembelajaran yang berbasis kompetensi.

Kedua pendekatan pembelajaran diatas merupakan contoh penerapan metode baru dalam pendidikan. Selama ini sistem sekolah konvensional masih menerapkan metode klasikal yang digunakan sejak abad ke-19. Di Indonesia Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mulai diterapkan pada tahun 2004 tampaknya memiliki kesamaan sudut pandang dengan dua pendekatan di atas.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menekankan pada tiga landasan yakni: (1) Pergeseran dari pembelajaran kelompok ke arah pembelajaran individual, (2) Pengembangan konsep belajar tuntas (mastery learning) atau belajar sebagai penguasaan (learning for mastery), dan (3) Pendefinisian kembali terhadap bakat.

Pengertian kompetensi didefinisikan MC Ashar (Situmorang dalam Mulyasa, 2006: 68) sebagai: “Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai seseorang dan telah menjadi bagaian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor dengan sebaik-baiknya”.

Kompetensi menjadi kata kunci bagi pendekatan kurikulum yang menekankan siswa sebagai pusat kegiatan belajar. Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam KBK, yaitu: (1) kompetensi berkenaan dengan kemampuan seseorang melakukan sesuatu dalam berbagai konteks, (2) kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui untuk menjadi kompeten (3) kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal yang dilakukan setelah melalui pembelajaran (4) keandalan dalam melakukan sesuatau harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur (Sujiono dan Sujiono, 2004)

Ketiga pendekatan pembelajaran diatas memiliki beberapa kesamaan pada beberapa asumsi dalam memandang siswa, yaitu:
• Meletakkan subjek pembelajar yaitu siswa dalam kedudukan sentral
• Siswa dipandang sebagai subjek dengan segala keunikannya. Pembelajaran didasari atas pengakuan terhadap perbedaan potensi antar individu
• Belajar harus bersifat kontekstual agar dapat dimaknai dan sesuai dengan kenya-taan sehari-hari. Dengan demikian belajar sekaligus melatih siswa dalam life skill/life competence
• Strategi pembelajaran dan evaluasi pendidikan mempersyaratkan standar kom-petensi yang disajikan dalam bentuk proses atau hasil kegiatan individu dan kelas.

Proses belajar-mengajar melibatkan tiga komponen yang saling berinteraksi dalam sebuah sistem yang dinamis. Tiga komponen tersebut meliputi; input (siswa, guru, lingkungan dan instrumen), proses (materi dan metode belajar-mengajar, interaksi guru dan murid) dan output (hasil yang didapatkan melalui sistem evaluasi pengajaran).

Bahasan berikut berupaya untuk menguraikan penerapan prinsip-prinsip asumsi yang diilhami dari pendekatan kecerdasan ganda, quantum learning, dan kurikulum KBK.

1. Siswa sebagai subjek dan pusat pembelajaran
Menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran dan mengakui perbedaan potensi siswa adalah kesadaran dasar yang harus dipahami dalam memandang siswa sebagai input dalam pembelajaran. Guru dituntut untuk mengenali potensi akademik dan kepribadian siswa. Individual differences akan menentukan tingkat kecepatan siswa dalam merespon dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Konsekuensi-nya, beberapa siswa akan belajar lebih cepat dan dapat mengambil program akselerasi/pengayaan atau bahkan mendapat kesempatan untuk loncat kelas. Siswa yang memerlukan waktu yang lebih banyak atau kurang mampu menyerap pelajaran berdasarkan standar kelas dipersilakan menjalani progran remedial untuk mengulang dan menguatkan pemahaman terhadap topik pelajaran yang kurang dikuasai.

Untuk mengakomodasi minat yang berbeda, guru dapat melakukan grouping berdasarkan area atau mata pelajaran/ilmu tertentu. Pembelajaran tematik juga dapat disajikan untuk menampung minat siswa agar kurikulum lebih dapat dikembangkan dan lebih dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Berikut definisi tentang pembelajaran tematik: “Pembelajaran tematik merupakan pembelajaran terpadu, dengan mengelola pembelajaran yang mengintegrasikan materi dari beberapa mata pelajaran dalam satu topik pembicaraan yang disebut tema” (Mamat, dkk., 2005).

2. Interaksi aktif siswa dalam proses belajar-mengajar
Belajar mengajar melibatkan interaksi guru dan murid. Ada dua tipe sistem pengajaran, yakni pengajaran yang berpusat pada guru (teacher centered instruction) dan pengajaran yang berpusat pada murid (student centered instruc-tion). Sistem pengajaran yang menempatkan siswa sebagai pusat pembe-lajaran menuntut peran dan partisipasi yang tinggi dari siswa (Nurdin, 2005). Berkaitan dengan proses pembelajaran, Mulyasa (2006) menyarankan perlunya pengupayaan lingkungan belajar yang kondusif dengan metode dan media yang bervariasi.

Dalam proses pembelajaran di kelas, kurikulum pelajaran perlu disesuaikan dengan konteks yang relevan dengan dunia siswa. Guru dituntut untuk kreatif memodifikasi atau menyampaikan kurikulum dalam strategi pengajarannya. Berbagai media dan metode dapat digunakan untuk mendekatkan materi pelajaran (misalnya pelajaran muatan lokal ) dengan dunia sehari-hari siswa, dengan tujuan melatih life skill dan life competency siswa. Guru dapat membuat kurikulum atau satuan pelajaran dengan penekanan pada pengintegrasian beberapa mata pelajaran dalam satu sajian/ tatap muka. Dua bentuk tipe kurikulum yang sesuai dengan pendekatan ini (dalam Nurdin, 2005) adalah correlated curriculum (menghubungkan antar bidang ilmu dengan tetap memperhatikan karakteristik masing-masing ilmu) dan integrated curriculum (pelajaran dipusatkan pada satu masalah atau topik tertentu dengan melibatkan berbagai pendekatan disiplin ilmu yang berlainan). Berkaitan dengan media yang digunakan dalam pelajaran, Mamat, dkk. (2005: 74) mencontohkan satuan pelajaran yang memuat beberapa media pembela-jaran. Dalam pelajaran fiqih, dengan materi pokok mengenai kewajiban meme-lihara dan mengelola lingkungan hidup, digunakan media VCD tentang Tanda-tanda Hari Kiamat (kejadian gunung meletus), lembar permasalahan, lembar obser-vasi, gambar-gambar yang berkaitan dengan gunung meletus, dan kertas karton.

3. Output dengan didasari kompetensi masing-masing siswa
Evaluasi merupakan rangkaian akhir dari proses pembelajaran. Evaluasi selain digunakan untuk menilai tingkat pencapaian atau penguasaan siswa, juga dapat dijadikan sarana umpan balik/feedback bagi proses belajar-mengajar. Tujuan evaluasi pendidikan selengkapnya dijelaskan oleh Hamalik (Mulyasa, 2004: 170):

“Keseluruhan kegiatan pengukuran (pengumpulan data dan informasi), pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. “

Sesuai dengan standar penilaian yang objektif, sistem evaluasi harus memuat kriteria validitas (ketepatan pengukuran, terutama menyangkut kompetensi dasar dan materi standar) dan reliabilitas (keajegan atau ketetapan hasil evaluasi bila siswa dites kembali dengan tes yang sama).

Proses evaluasi pendidikan yang diperlukan harus disesuaikan dengan tingkat pencapaian pada masing-masing ranah pengetahuan. Harus ada kriteria evaluasi yang mencakup penguasaan ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Standar evaluasi yang tepat dalam penilaian dengan pendekatan yang berfokus pada murid yaitu dengan mengukur standar kompetensi siswa. Kompetensi yang dimaksud harus mencakup pencapaian pada ranah pengetahuan, sikap dan perilaku yang diharapkan. Ada dua jenis kompetensi yang dijadikan kriteria, yaitu Dua hal yang menjadi stardar kompetensi, yakni academic competency (kompetensi yang merefleksikan pengetahuan dan keterampilan esensial ilmu yang dipelajari) dan performance competency (kompetensi atas dasar bentuk proses atau hasil kegiatan individual pada tiap siswa).

E. Penutup
Tantangan berat yang harus dihadapi dunia pendidikan Indonesia, menuntut upaya pembenahan yang serius dan menyeluruh dalam setiap aspeknya. Redefinisi makna dan tujuan pendidikan haruslah disadari sebagai langkah awal perbaikan sistem pendidikan, bersama semua bagian yang terlibat didalamnya. Demikianlah cara yang dapat ditempuh untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia, sebagaimana telah didengungkan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional pada tahun 2002.

Agar SDM Indonesia dapat bersaing dan mampu berdiri sejajar dengan masyarakat dunia luar, penguasaan atas teknologi dan informasi mutlak diperlukan. Tidak kalah penting dari itu adalah aspek kepribadian bangsa. Pendidikan demi meningkatkan kualitas keahlian dan pengetahuan dan dari sisi kemanusiaan manusia (educated and civilized human being).

Satu hal penting yang berkaitan dengan proses belajar disekolah ialah mengubah sudut pandang terhadap siswa. Siswa, dengan segala potensi dan aspek kepribadianya, adalah subjek yang memiliki kemampuan dan kualitas yang unik. Pengakuan dan pemahaman atas beragamnya bentuk kecerdasan, pandangan yang seimbang terhadap potensi akademik (kecerdasan, bakat dan kreativitas) dengan kualitas lain pada siswa adalah hal mendasar yang perlu disadari dan dijadikan pijakan dalam mengajar siswa di sekolah.

Learning to know, learning to do, learning to life together dan leraning to be. Prinsip pendidikan haruslah mencakup tujuan-tujuan tersebut. Empat asumsi yang harus diperhatikan; (1) menerapkan pendekatan yang menempat-kan siswa sebagai pusat pembelajaran, (2) mengakui adanya perbedaan potensi dan kepribadian individu pembelajar, (3) belajar harus terkait dengan konteks kehidupan dan (4) evaluasi pendidikan didasarkan atas standar kompetensi yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK), Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) adalah contoh aplikasi dari empat asumsi di atas.

Sebagai ujung tombak, tugas gurulah untuk mengimplementasikannya dalam proses belajar-mengajar. Diharapkan dengan memahami potensi unik siswa, menerapkan kurikulum dengan sistem evaluasi yang didasarkan kompetensi dan tidak lepas dari konteks hidup, visi dan misi pendidikan di Indonesia dapat dicapai. InsyaAllah.

DAFTAR RUJUKAN
Anonim. (2005). Pedoman Integrasi Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) dalam Pembelajaran. Jakarta: Depag. Dirjen. Bagais.
DePorter, B. & Hernacky, M. (2001). Quantum Learning. Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan Alwiyah Abdurrahman (penerjemah). Bandung: Kaifa.
DePorter, B., Reardon, M., Singer-Nourie, S., (2002). Quantum Teaching. Memprak-tekkan Quantum Teaching diruang-ruang Kelas. Ari Nilandari (penerjemah). Bandung: Kaifa.
Hermina, D. (2005). Kecerdasan Pelbagai (Multiple Intelligence) dan Implikasi Kependidikan. Fikrah. Jurnal Ilmiah Ketarbiyahan. Vol. 4 no 1. Januari – Juni Banjarmasin: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari.
Mamat, dkk. (2005). Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran Tematik. Jakarta: Departemen Agama. Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Mulyasa, E. (2004). Implementasi Kurikulum 2004. Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.
_________ (2006). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Munandar, U. (1999). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Rineka Cipta.
Nurdin, S. (2005). Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Quantum teaching.
Rakhmat, J. (1996). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
________. (1997). AFTA Mengancam Lembaga Pendidikan di Indonesia. Catatan Kang Jalal. Visi Media, Politik, dan Pendidikan. Miftah F. Rakhmat. (ed.). Bandung: Remaja Rosda Karya.
Saphiro, L. E. (1998). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: Gramedia.
Situmorang, R. (2004). Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences untuk Pencapaian Kompetensi dalam Pembelajaran. Mozaik Teknologi Pendidikan. Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar (ed). Jakarta: UNJ dan Kencana
Sujiono, N. Y. S. dan Sujiono, B. Aplikasi Teknologi Pendidikan pada Anak Usia Dini. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi melalui Penerapan Model Pembelajaran Sentra untuk Mengembangkan Multi Kecerdasan. Mozaik Teknologi Pendidikan. Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar (ed). Jakarta: UNJ dan Kencana
Tilaar, H. A. R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

OLEH: HELMA NURAINI (Pengajar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin)

Tidak ada komentar: