Minggu

Mengenal Hakikat Psikologi Islam

Kehadiran Psikologi Islam di abad ini merupakan salah satu bukti ke bangkitan kembali Islam dalam peradaban dunia. kehadirannya bukan sesuatu yang dipaksakan, tetapi merupakan jawaban atas kegagalan psikologi modern/kontemporer dalam mengatasi kegelisahan hidup manusia abad modern yang tidak menemukan ketenangan, nilai dan makna hidup yang sesungguhnya. Psikologi Islam adalah sebuah bentuk psikologi yang berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan alam rohani dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas hidup keberagamaan, serta menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Perbedaan yang mendasar antara Psikologi Islam dengan Psikologi Barat kontemporer terletak pada ontologinya yang transendental dan aksiologinya yang sarat dengan nilai moral-religious.

A. Pendahuluan
Ada dua arus besar yang terjadi ketika wacana Psikologi Islami pertama kali dikumandangkan saat memasuki abad ke 21. Arus besar tersebut menjadi pendorong utama lahirnya Psikologi Islam. Arus pertama adalah munculnya kebangkitan Islam, dan arus kedua adalah terjadinya krisis dalam dunia ilmu pengetahuan modern.

Kebangkitan Islam sesungguhnya telah muncul pada abad ke 19, kemudian menguat kembali menjelang abad ke 21. Umat Islam dari berbagai negeri dan kalangan menyambut gagasan perlunya menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan pribadi dan peradaban umat Islam dipercaya, sebagaimana pernah dibuktikan dalam sejarah, dapat menjadi pijakan bagi lahirnya peradaban yang lebih menghargai manusia secara hakiki dan menghindarkan manusia dari kehancuran eksistensinya.

Semangat kebangkitan ini antara lain menyebar dan menguat pada ilmuwan muslim. Di kalangan mereka terdapat keinginan untuk menggali Alquran dan Sunnah sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan. Salah satu tema yang kemudian banyak didiskusikan ilmuwan Muslim adalah Islamisasi ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh utama Islamisasi ilmu pengetahuan seperti Ismail Raji’ al-Faruqi, Muhammad Naquib al-Attas, Sayyid Hossein Nasr, mencoba membangun Islam sebagai basis ilmu pengetahuan khususnya dan kehidupan pada umumnya sambil melakukan kritik tajam atas pemikiran dan peradaban Barat modern. Di antara kritik mereka adalah, al-Faruqi mengung-kapkan, bahwa kecenderungan umat Islam meniru begitu saja budaya Barat menjadikan umat ini tercerabut dari akar budaya dan ideologinya sendiri (al-Faruqi. 1982). Kemudian al-Faruqi menyebutkan bahwa setiap muslim seharusnya menyan-darkan pemikiran dan tindakannya kepada kebenaran Islam yang berpijak pada tauhid, karena ciri utama ilmu pengetahuan Islam adalah menjadikan tauhid sebagai pondasi-nya. Selain itu, Bakar (1995) berpendapat bahwa suatu sains pantas disebut sains Islam karena sains tersebut, secara konseptual, terkait secara orisinil dengan ajaran Islam; dan yang paling utama di antaranya adalah prinsip tauhid.

Ide-ide islamilasi pengetahuan dari tokoh-tokoh di atas cukup mendapat perhatian dari para ilmuwan di pelbagai disiplin ilmu, termasuk psikologi. Beberapa tokoh antara lain seperti Malik Babikir Badri, Muhammad Usman Najati, Djamaludin Ancok, Hanna Djumhana Bastaman, dan Fuad Nashori, merupakan tokoh-tokoh penggagas la-hirnya Psikologi Islam pasca modern.

\Kemudian arus besar kedua adalah krisis ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan modern yang mendasarkan diri hanya memahami realitas indrawi mengalami kegagalan dalam memahami realitas non-indrawi. Begitu juga ilmu pengetahuan yang menyandarkan diri pada rasionalisme gagal memahami realitas dunia ruhaniah atau metafisik. Teori-teori psikologi yang dipakai untuk memahami manusia tanpa jiwa, sehingga melahirkan pemahaman yang tidak utuh dan keliru. Akibatnya berbagai persoalan hidup manusia (modern) tidak dapat terselesaikan dengan baik, yang didapat bukan kebahagiaan tetapi sebaliknya adalah kegelisahan dan kehancuran. Berikut ini dikemukakan beberapa kelemahan dari berbagai aliran psikologi modern yang muncul secara bergantian, dari psikoanalisis sampai dengan psikologi humanistik dan cabang-nya (psikologi transpersonal).

Psikoanalisis yang dipelopori oleh Sigmund Freud menyelami dunia dalam (inner-world) manusia dan menemukan suatu dimensi kejiwaan yang tidak diperhatikan oleh ahli sebelumnya, yaitu alam taksadar dengan metode hipnostiknya. Alam tak-sadar berisi dorongan dan instink-instink primitif serta berbagai pengalaman traumatis yang ditekan masuk ke dalam ternyata merupakan ajang pergolakan dahsyat, dinamis, energitik, kejam dan tak pernah reda. Dimensi ini menurut Freud mempunyai pengaruh yang menentukan perilaku manusia, bahkan perkembangan kepribadian manusia (ego dan super ego) dapat dikatakan seluruhnya ditentukan dan bertolak dari unsur-unsur yang ada dalam alam tak sadar. Dengan demikian dapat dipahami menurut teori psikologi ini, bahwa hakikat dan citra manusia adalah buruk, liar, kejam, dan muaranya adalah pemuasan kenikmatan. Kemudian dengan Id-nya yang oleh Freud digeneralisasi menjadi awasan manusia seutuhnya tentu saja dapat menimbulkan citra manusia yang sarat nafsu rendah. Padahal dalam pandangan Islam, manusia mempunyai potensi dan kualitas insani yang luhur (fithrah).

Kemudian aliran Psikologi Perilaku yang dipelopori oleh J.B. Watson, Ivan Pavlov, Edward L. Thorndike, Skinner, dan lainnya, berhasil menemukan asas-asas belajar yang mendasari perubahan perilaku. Upaya rekayasa dan kondisi lingkungan luar adalah hal yang mempengaruhi pembentukan kepribadian manusia. Aliran ini beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya adalah netral (tidak membedakan antara manusia dan binatang), baik buruknya perilaku terpengaruh oleh situasi dan perlakuan yang diberikan oleh lingkungan. Mereka nampaknya melupakan unsur bawaan (fitrah) manusia yang tidak sama dengan binatang, sehingga akal dan rohani manusia sama sekali tidak dijadikan determinant conditioning dalam penyelidikannya.

Sedangkan Psikologi Humanistik yang dipelopori oleh Abraham Maslow dan kawan-kawan, berbeda dari Psikoanalisis dan Psikologi Perilaku, mereka beranggapan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik. Aliran ini menelaah kualitas-kualitas insani, yaitu sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang ada pada eksistensinya seperti kemampuan abstarksi, daya analisis-sintesis, imajinasi, kreatifitas, kebebasan berkehendak, tanggungjawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, sikap dan estetika. Menurut mereka kemampuan-kemampuan seperti itu hanya khas pada manusia, tidak ada pada binatang. Manusia merupakan makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri, manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku aktif yang dapat menentukan perilakunya. Dengan demikian, pandangan aliran ini terhadap manusia adalah the self determining being, filosofisnya jelas berkiblat pada anthroposentrisme.

Filosofi seperti ini tentu saja akan menuju kepada peniadaan kekuasaan Tuhan sebagai Al-Khaliq. Meskipun Victor Frankl menyempurnakan konsep Humanistik ini dengan penemuannya yang terkenal Logoterapi, dengan menambahkan aspek kerohanian (neotic/spiritual) manusia. Tetapi tetap saja dalam batas dataran kemanusiaan yang universal bukan transendental. Menurutnya, hasrat untuk hidup bermakna adalah motivasi utama manusia, apabila seseorang berhasil memenuhi motivasi itu maka hidupnya akan bermakna dan bahagia.

Kemudian aliran keempat adalah Psikologi Transpersonal. Aliran ini kadang-kadang disebut sebagai aliran keempat, tetapi kadang-kadang bisa dise-but sebagai bagian dari aliran ketiga (Psikologi Humanistik), sebab kenyataannya aliran merupakan pengembangan baru (sintesa) dari Humanistik dan Psikoanalisis. Tokoh-tokohnya adalah: Abraham Maslow, Antony Sutich, Charles Taart, dan Erich Fromm. Pusat perhatian mereka tertuju pada dua unsur penting, yaitu potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness) manusia. Lingkungan telaahnya diperlebar sehingga menjangkau pengalaman subyektif-intuitif serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual, seperti alih dimensi, komunikasi batin, meditasi, mistik, extra sensory-perception, dan praktik keagamaan. Tetapi tetap saja tidak didasarkan pada wahyu Tuhan, sehingga wawasannya masih dalam koridor kemanusiaan tanpa nilai Ilahiyah.

Psikologi modern mengalami berbagai kegagalan dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan jiwa manusia. Psikologi modern menghadapi krisis dengan segala kelemahannya. Berbagai kritik senada telah dilontarkan oleh kalangan psikolog muslim maupun psikolog Barat sendiri. Misalnya Malik B. Badri (psikolog muslim) dalam pertemuan Association of Muslim Social Sciences (AMSS) tahun 1975 di Amerika dan Kanada, kemudian di Universitas Riyadh pada tahun 1978 dengan judul The Dilemma of Muslim Psychologist, yang mendapat sambutan hangat para peserta (Badri, 1996: 1). Kemudian Gordon Westland pada tahun 1978 (seorang psikolog Barat) menyebutkan berbagai krisis psikologi modern dalam bukunya Current Crises of Psychology, yang menyebutkan adanya krisis kegunaan (usefulness crisis), krisis laboratorium (the labo-ratory crisis), krisis keilmuan (the science crisis), krisis filsafat (the philosophical crisis), krisis profesi (the professional crisis), krisis publikasi (the publication crisis), krisis etika (the ethical crisis), dan krisis resolusi krisis (the resolution of crises crisis) (Westland, 1994, 92). Banyak lagi kritikan yang dilontarkan oleh psikolog Indonesia seperti: Sukanto MM, Sofia Retnowati, Audith M. Turmudzi, Achmad Salim Sungkar, Yapsir Gandhi Wirawan, Hanna Djumhana Bastaman, Fuad Nashori, dan lain-lain. Inilah antara lain sebabnya mengapa Psikologi Islam itu perlu dikedepankan dalam dunia ilmu untuk menjadi psikologi alternatif abad pasca modern.

Di samping itu, bahwa dalam sejarah psikologi, secara obyektif pemikiran di bidang Psikologi Islam pernah mewarnai peradaban ilmu dunia di abad klasik sebelum berkembangnya teori-teori Barat pada saat renaissance, sebut saja misalnya: pemikiran al-Farabi (874-950), Ibn Sina (980-1037), Abul Hasan al-Mawardi (974-1058), al-Ghazali (1058-1111) dan Ibn Khaldun (1332-1406). Sayangnya pada saat itu konsep-konsep psikologi masih bercampur dengan filsafat dan ilmu agama sehingga tidak secara mandiri disebut sebagai psikologi. Kitab Qanun fi al-Thibb dan al-Syifa’ karya Ibn Sina misalnya sempat menjadi kitab rujukan pengajaran ilmu kedokteran di Universitas-Universitas Eropa (Mubin, 1991: 4-5). Jadi tidak berlebihan jika di abad ke 20/21 ini diskursus-diskursus tentang Psikologi Islam dimunculkan di berbagai simposium ilmiah nasional dan internasional serta berbagai penerbitan buku, dan sekarang telah menemukan bentuknya atas jasa tokoh-tokoh ilmuwan muslim yang mempunyai perhatian terhadap psikologi sebagaimana telah disebutkan terdahulu.

Beberapa pertanyaan tentu saja akan muncul atas pernyataan di atas, dan pertanyaan yang paling mendasar adalah: Apa sebenarnya Psikologi Islam itu? Kemudian dari situ dapat dimunculkan pula berbagai pertanyaan kecil, seperti misalnya: Apa pengertian Psikologi Islam itu? Apa yang menjadi landasannya? Apa yang menjadi obyek kajiannya, dan apa pula yang menjadi tujuan dan pendekatan Psikologi Islam? Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang dapat diajukan berkenaan dengan Psikologi Islam, tetapi pembahasan makalah ini sengaja dibatasi hanya pada lima persoalan pokok seperti dikemukakan di atas.

B. Pengertian Psikologi Islam
Dari segi bahasa, para pemikir psikologi (muslim) berbeda pendapat dalam menyebut istilah “Psikologi Islam”. Ada yang menyebutnya dengan nafsiologi, ada yang menyebut ‘Ilm al-Nafs al-Islamiy, ada juga ‘Ilm al-Nafs fi al-Islam, Psikologi Ilahiyah, Psikologi Qur’ani, Psikologi Spiritual, Psikologi Sufistik, dan Psikologi Isla-mi atau Psikologi Islam. Yang terbanyak dipakai adalah Psikologi Islam atau dalam bahasa Arab ‘Ilm al-Nafs al-Islamiy. Istilah ini nampaknya lebih akomodatif, tidak parsial-term, dan mudah dipahami. Term “Islam” hanya menunjukkan corak atau nilai Islami, bukan legalitas syariat formal (Bastaman, 1995: 3)

Secara terminologi, pengertiannya dapat dikemukakan sebagai berikut:
Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001) memulai uraiannya dengan menurunkan tiga macam definisi psikologi yang pernah berkembang di dunia ilmu, yaitu:
1. Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche). Definisi ini berasal dari Plato dan Aristoteles, dengan pendekatan spekulatif (filsafat);
2. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, per-hatian, persepsi, inteligensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini berasal dari Wundt, pada saat psikologi sudah memisahkan diri dari filsafat;
3. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme (manusia dan bina-tang). Definisi ini merupakan definisi psikologi kontemporer.

Dengan beberapa argumentasi, akhirnya Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001: 1-2) memilih definisi pertama yang cocok untuk dipakai dalam merumuskan pengertian Psikologi Islam saat ini.

Nashori (1997: 15-31), dengan mempelajari realitas keilmuan Islam dan prak-tik kerohanian Islam secara obyektif dan optimis berpendapat bahwa rumusan penger-tian Psikologi Islam itu haruslah mencakup ketiga definisi psikologi tersebut. Karena bangun Psikologi Islam itu mencakup: perumusan, penelitian, dan penerapan.

Menurut penulis, apa yang dikatakan oleh Nashori itu sangat beralasan. Sebab kalau kita menganggap Psikologi Islam itu masih berada pada dataran spekulatif (fal-safi) maka sama artinya bahwa Psikologi Islam sebagai suatu ilmu masih berada dalam pemikiran, padahal umat Islam sendiri telah mempraktikkannya dan dunia psikologi Barat sedang meliriknya untuk dapat diakomodasi dalam Psikologi Transpersonal se-bagaimana telah digambarkan pada bagian pendahuluan makalah ini.

Kalau demikian, bagaimana rumusan definisi Psikologi Islam sebaiknya? Pada bagian lain, Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001: 5) membuat rumusan hakikat Psikologi Islam yang cukup bagus dan berbeda dengan pernyataan sebelumnya, yaitu: “Kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar se-cara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”.

Selanjutnya dijelaskan Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001: 5-7) bahwa hakikat definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok. Pertama, bahwa Psikologi Islam meru-pakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain. Penempatan kata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memiliki pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya. Tidak terlepas dari ke-rangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam Islam, sehingga dapat melahirkan berbagai cabang psikologi seperti: Psikopatologi Islam, Psikoterapi Islam, Psikologi Agama Islam, Psikologi Perkembangan Islam, Psikologi Sosial Islam, dan sebagainya. Kedua; bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh, al-nafs, al-qalb, al-‘aql, al-dhamir, al-lubb, al-fu’ad, al-sirr, al-fithrah, dan sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme, proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui Alquran, Sunnah, serta dari khazanah pemikiran Islam. Selain perilaku kejiwa-an, Psikologi Islam juga mempelajari hakikat jiwa sesungguhnya yang menjadi dasar lahirnya perilaku tersebut. Ketiga; menurut Mujib, bahwa Psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang haki-ki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin yang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsep diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau diri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya penyimpangan perilaku maka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuansa Ilahiyah, agar dapat mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik. Dengan demikian, mempelajari Psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakan diri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasingan, kegersangan dan kegelisahan.

Kemudian Bastaman (1995: 10) merumuskan pengertian Psikologi Islam seba-gai berikut: “Corak psikologi berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan alam keruhanian, dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagamaan”

Pengertian yang dikemukakan oleh Bastaman tersebut lebih lengkap daripada apa yang dikemukakan oleh Mujib terdahulu. Di samping lebih lengkap, Bastaman se-cara gamblang menyebutnya sebagai corak psikologi yang mempunyai karakteristik sendiri, artinya dia sudah jelas memenuhi standar epistemologi ilmu, bukan hanya berada pada dataran wacana atau kajian keislaman.

C. Landasan Psikologi Islam
Psikologi Islam mendasarkan filsafatnya pada anthropo-religious sentris dan sarat nilai, kajiannya mengacu kepada petunjuk Tuhan mengenai manusia dengan se-gala keunikannya, landasan keilmuannya adalah:

1. Wahyu Allah (Alquran) :
Banyak ayat Al Quran yang berkaitan dengan dasar-dasar kejiwaan manusia, di antaranya sebagai berikut:
- al-ruh/al-nafs:
al-Sajadah: 9, al-Isra: 85, Ali Imran: 145, 175, al-‘A’raf: 29, al-Anbiya: 35, Luqman: 34, al-Ankabut: 57, al-An’am: 70, al-Haaqqah: 8, 25, 27, al-Infithar: 1-5, al-Syams: 1-10.
- al-af’idah/al-qalb (hati)
al-Nahl: 78, al-Hajj: 46, dsb.
- fithrah tauhid
al-‘A’raf: 172
- al-hawa (hawa nafsu)
al-Nisa’: 135, al-Rum: 29, Shad: 26, dsb.
- al-dhamir/al-sirr (hati nurani)
al-An’am: 152, al-A’raf: 200-202, Qaf: 16.
- al-mas’uliyah al-syakhsiyah (tanggung jawab pribadi)
al-An’am: 104,164, al-Ankabut: 6, Saba’: 25, 42, al-Zumar: 7, al-Ma’idah: 105, al-Isra: 15, dsb.

Psikologi Islam, apapun teori yang dikembangkan harus tetap mengacu kepada wahyu Allah sebagai pedomannya atau meminjam istilah yang dipakai oleh Herman Soewardi adalah “sains tauhidullah” (Soewardi, 1996: 376)

2. Sunnah Rasulullah.
Muhammad saw adalah rasul terakhir yang membawa ajaran keselamatan bagi seluruh alam. Oleh karena itu Hadis dan cara hidupnya dapat dijadikan dasar untuk membangun dan mengembangkan Psikologi Islam. Banyak hadis dan contoh perilaku beliau yang secara langsung berkenaan dengan bagaimana seorang mukmin seharusnya memandang dirinya, mengelola nafsu dan spiritualnya.

3. Khazanah pemikiran Islam klasik dan modern.
Khazanah pemikiran yang berkenaan dengan eksistensi, tugas dan peri-laku manusia dari berbagai tokoh yang tidak diragukan lagi keahliannya. Kenapa landasan ketiga ini juga masih diperlukan, Sebabnya adalah: pertama, karya pemikir Islam di masa klasik merupakan karya besar umat Islam di bidang ilmu pengetahuan yang sempat menguasai peradaban dunia termasuk bidang kajian psikologi, sebut saja misalnya Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Qayyim dan lain-lain; kedua, adalah khazanah tokoh Islam di masa modern merupakan karya yang dilahirkan setelah sekian lama umat Islam berinteraksi dengan ilmu pengetahuan modern sehingga berbagai perluasan interpretasi terhadap terminologi agama sangat dimungkinkan terjadi melalui analisis ilmiah yang cermat dan sistematis, misalnya Ali Syariati, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal dan lain-lain.

Meskipun Psikologi Islam erat hubungan keilmuannya dengan Agama Islam, dan bahkan tak terpisahkan, menurut Bastaman, tetapi bagaimana pun Psikologi Islam adalah psikologi, ia adalah sains yang mempunyai batasan-batasan tertentu, jadi tidak bisa dicampuradukkan dengan agama tanpa batas (Bastaman, 1995: 4-5). Di sini letak dilematisnya psikolog muslim seperti diingatkan oleh Badri pada saat diskursus Psikologi Islam mulai dikumandangkan di tingkat inter-nasional. Oleh karena itu, apa yang disebutkan oleh Bastaman itu tentu saja patut diperpegangi, agar doktrin dan syari’at agama tidak terganggu karena dikem-bangkannya teori-teori Psikologi Islam sebagai suatu disiplin ilmu.

D. Obyek Kajian Psikologi Islam
Obyek material Psikologi Islami sama saja dengan ilmu-ilmu humaniora lainnya yaitu manusia. Sedangkan obyek formalnya tentu saja berbeda dari yang lain dan disiplin psikologi lainnya. Bastaman nampaknya sepakat dengan Nashori menge-nai obyek atau ruang lingkup kajian Psikologi Islami.

Pada psikologi kontemporer umumnya hanya mengakui semata-mata tridimensional raga (organo-biologi), jiwa (psiko-edukasi), dan lingkungan sosial-budaya (sosio-kultural) sebagai penentu perilaku dan kepribadian manusia. Apabila dimensi raga dan lingkungan dikaitkan dengan dimensi ke jiwaan maka di situlah obyek kajian psikologi (kontemporer). Sehingga secara garis besar ruang lingkupnya menjadi bidang psiko-biologis, psiko-eksistensial, psiko-sosial dengan segala kemajemukannya. Se-dangkan Psikologi Islam karena mengakui adanya dimensi ruh luhur yang diberikan Tuhan kepada manusia, yang dengan ruh itu manusia dapat berhubungan dengan-Nya. Di samping tiga dimensi yang dikenal oleh psikologi kontemporer tadi, maka obyek atau ruang lingkup kajian Psikologi Islam lebih luas lagi, meliputi empat bidang secara totalitas, yaitu: bidang psiko-biologis, psiko-eksistensial, psiko-sosial, dan psikospiritual (Bastaman, 1995: 8-9). Bagi Psikologi Islam, dimensi ruhaniyah (spiritual) manu-sia yang disebut fithrah menjadi dasar utama dalam memandang manusia.

E. Tujuan Psikologi Islam
Menurut Bastaman (1995: 8-9), tujuan utama Psikologi Islam adalah bukan saja mengembangkan kesehatan mental pada diri pribadi dan masyarakat, melainkan juga meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sehingga menjadi mukmin dan muttaqin. Untuk mencapai tujuan itu maka Psikologi Islam mempunyai fungsi menerangkan, memprediksi, mengontrol dan mengarahkan perilaku manusia untuk mencapai ridha Allah.

Sedangkan Mujib dan Jusuf Mudzakir merumuskan hakikat tujuan Psikologi Islam itu dengan rumusan yang sangat simple yaitu: merangsang kesadaran diri agar mam-pu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebaha-giaan hidup di dunia dan akhirat (Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001: 7).

Meskipun kedua rumusan ini berbeda redaksinya, tetapi mengandung substansi yang sama, yaitu mempunyai tujuan pemahaman, penyadaran, dan pengarahan diri manusia secara totalias menuju kebahagiaan hidup tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, Psikologi Islam dalam penerapan konsep-konsepnya didasar-kan pada aksiologis nilai-nilai dasar ajaran Agama Islam, baik nilai akidah, nilai ibadah dan nilai akhlaq al-karimah. Inilah yang membedakannya dari psikologi lain.

F. Pendekatan Metodologi Psikologi Islam
Dari sisi metodologinya, substansinya ditelaah sebagaimana ontologinya sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Dalam hal ini, yang menjadi pa-tokan dalam menentukan metodologi adalah sampai sejauhmana suatu metode mampu menggali pengetahuan yang sistematis tentang tingkah laku manusia. Psikologi Islam hendaknya menekankan pada kebenaran ontologik; mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala. Hal ini jelas berbeda dengan acuan metodologi yang dikembangkan di Barat yang lebih mendasarkan pada kebenaran epistemologik, kebenaran didasarkan pada cara yang ditempuh. Dalam Psikologi Islam ada beberapa pendekatan yang dianjurkan antara lain:

1. Pendekatan skriptualis, yaitu pengkajian psikologi yang didasarkan atas teks-teks Alquran maupun Hadis secara literal.

2. Pendekatan falsafi, yaitu pengkajian psikologi yang didasarkan atas prosedur ber-pikir kefilsafatan, tetapi tetap terkait dengan nilai-nilai luhur yang dikandung oleh nash Alquran.

3. Pendekatan sufistik (tasawuf), yaitu pengkajian psikologi yang didasarkan pada epistemologi intuitif, pengetahuan kehadiran, neotic-spiritual, yang kini di dunia pengetahuan sudah diakui keabsahannya.

4. Pendekatan pragmatis, yaitu pengkajian yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya bagi kebutuhan kehidupan manusia. Dalam hal ini beberapa metode psikologi kontemporer yang ada bisa dipakai sebagai alat bantu dalam tek-nik penyelidikan ilmiah pada tingkat insaniyah. Kemudian fungsionalisasinya akan terkait dengan nilai etik dan moral Islam yang luhur (insaniyah-Ilahiyah).

G. Penutup
Kehadiran Psikologi Islam di abad ini merupakan salah satu bukti kebangkitan kembali Islam dalam peradaban dunia, tetapi ia bukanlah sesuatu hal yang dipaksakan melainkan merupakan jawaban atas tuntutan manusia modern karena terjadinya kegagalan psikologi modern atau kontemporer dalam mengatasi kegelisahan hidup dan kekacauan manusia abad modern yang tidak menemukan ketenangan, nilai dan makna hidup yang sesungguhnya.

Psikologi Islam adalah suatu bentuk psikologi berlandaskan citra manusia me-nurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan alam kero-hanian, dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas hidup keber-agamaan atas dasar nilai luhur Islami untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Psikologi Islam mendasarkan teorinya pada pemahaman ayat Alquran, Sunnah, khazanah pemikiran tokoh-tokoh Islam, dilengkapi dengan hasil pengkajian terhadap alam nafsani manusia baik secara rasional, obyektif-empirik maupun intuitif secara terpadu. Dengan keterpaduan antara wahyu dan sunnah, rasio, historik, empirik dan fenomena ruhaniah menjadikan ilmu ini sebagai sains tauhidullah atau menggunakan filsafat anthropo-religious-sentrisme.

Lingkup obyek kajiannya melampaui lingkup kajian psikologi kontemporer, yaitu: psiko-biologis, psiko-eksistensial, psiko-sosial, dan psiko-spiritual. Psikologi Islam memandang manusia dalam empat dimensi: dimensi jasmani, dimensi psikis, dimensi sosial, dan dimensi ruhani (spiritual). Dan menempatkan dimensi ruhaniyah ma-nusia (fithrah-Ilahiyah) sebagai konsep utama dalam psikologi ini.


DAFTAR RUJUKAN

Abd. al-Baqi, Muhammad Fuad. (1955). Tafshil Ayat al-Qur’an al-Hakim. Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy.
Al-Faruqi, Isma’il Raji’. (1982). Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan. IIIT, Pensylvania: Wyncote.
Arifin, H.M. (1977). Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniyah Manusia. Jakarta: Bulan Bintang.
Badri, Malik B. (1996). The Dilemma of Muslim Psychologist. Terj. Siti Zainab Luxfiati dengan Judul Dilema Psikolog Muslim. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. VI.
Bakar, Osman. (1995). Tawhid and Science : Essay on The History and Philosophy of Islamic Science. Terj. Yuliani Liputo dengan Judul Tauhid dan Sains : Esei-Esei Tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Bandung: Pustaka Hidaya.
Bastaman, Hanna Djumhana. (1995). Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Yayasan Insan Kamil.
Chaplin, J.P. (1989). Dictionary of Psychology. Terj. Kartini Kartono dengan Judul Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: CV Rajawali.
Mubarak, Achmad. (2001). Jiwa dalam Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.
Mubin. (1991). Dimensi Psikologi dalam Pandangan al-Ghazali. (Hasil Penelitian Terhadap Kitab Ihya ‘Ulum al-Din). Banjarmasin : Pusat Penelitian IAIN Antasari, 1998
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir. (2001). Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nashori, Fuad. (Ed). (1994). Membangun Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta: SIPRESS.
Soewardi, Herman. Roda Berputar Dunia Bergulir: Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung: Bakti Mandiri, 1999
Nawawi, Rifaat Syauqi, et al. (2000). Metodologi Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

DITULIS OLEH: H. MUBIN (Dosen Psikologi pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin)

Tidak ada komentar: