Rabu

Taubah, Puasa, Muhasabah dan Dzikrullah dalam Perspektif Psikologi dan Psikoterapi

Islam adalah agama yang sempurna dan membawa rahmat bagi umatnya, terbukti antara lain ajarannya dapat dijadikan sebagai solusi dalam mengatasi berbagai problem kejiwaan yang sekarang banyak dialami umat manusia, jika diamalkan dengan baik dan benar maka akan memberi dampak positif bagi ketenangan dan kebahagiaan jiwa. Ajaran agama Islam antara lain seperti taubah, puasa, muhasabah dan dzikrullah ternyata efektif untuk mengatasi berbagai problem kejiwaan manusia. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan taubah, puasa, muhasabah dan dzikrullah dari perspektif psikologi dan psikoterapi yang umumnya dijadikan sandaran untuk memberikan layanan bantuan terhadap berbagai problem kejiwaan yang banyak dialami umat manusia dewasa ini.

A. Pendahuluan
Para ahli psikologi dan psikiatri adalah tenaga profesional yang sering didatangi dan diminta bantuannya untuk mengatasi gangguan kejiwaan. Namun demikian, dari segi konsep dan praktik, sebagian para pakar psikologi dan psikiatri ada yang tidak mengakui eksistensi agama sebagai salah satu pendekatan di dalam penyembuhan gangguan kejiwaan. Mengutip pendapat Bergin dan Lovinger, Genia dalam sebuah jurnal menyatakan:

Secular psychotherapists are trained in traditional counseling and clinical psychology programs and use psychodynamic, client-centered, and behavioral interventions in treating psychological distress. The theory and practice of traditional, secular psychoterapy when not openly antagonistic toward religious values (e.g., Ellis, 1980; Freud, 1927) has, for the most part, excluded the religious dimensions (Genia, 1994: 395).
Senada dengan pernyataan Genia di atas, dengan mengutip pendapat Russo, Sperry, Spilka, dan Theodore, Bishop (1992: 181) menyebutkan:

Although religious values are a part of the global elements of culture, and are an important aspect of a person’s psychological development and functioning, they are often not assessed or considered important from a psychological perspective.
Pernyataan seperti yang dikemukakan oleh Genia dan Bishop di atas menunjukkan bahwa kebanyakan konselor/psikiater (khususnya di Barat) sering mengabaikan nilai-nilai agama dalam proses psikoterapi/konseling, hal demikian sering menyebab-kan banyak pasien/klien yang tidak tertolong/teratasi problem kejiwaannya.

Kegagalan psikologi untuk membantu memecahkan berbagai problem kejiwa-an manusia dewasa ini antara lain disebabkan karena sebagian besar psikologi kering, bahkan cenderung mengabaikan nilai-nlai spiritual/agama. Bantuan psikoterapi yang tidak dilandasi/kering dengan nilai-nilai agama sudah banyak terbukti mengalami kegagalan. Penekanan yang berlebihan pada perilaku yang semata-mata teramati melalui metodologi yang kuantitatif-matematis menyebabkan psikologi semakin lama semakin tidak insani, manusia yang digambarkannya pun seakan-akan tidak mempunyai “ruh”. Ilmu jiwa tidak lagi mempelajari jiwa, atau ilmu jiwa yang mempelajari manusia yang (dipandangnya) tidak berjiwa seperti yang disindir oleh Badri; “A psychology without soul studying a man without soul” (Bastaman, 1997: 35).

Hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana yang dikutip oleh Genia (1994), menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan.

Islam adalah agama yang sempurna dan membawa rahmat bagi umat,manusia. Sebagai agama pembawa rahmat, antara lain dapat dilihat dari ajaran-ajarannya yang dapat dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi berbagai problem kejiwaan yang sekarang banyak dialami oleh umat manusia, bila diamalkan dengan baik dan benar maka akan membei dampak positif bagi ketenangan dan ketenangan jiwa.

Untuk menjelaskan bahwa pendekatan agama (Islam) dapat dijadikan sebagai ”problem solver” atas berbagai problem kejiwaan manusia, diantaranya dapat diuraikan melalui perspektif psikologi dan psikoterapi. Beberapa pendekatan agama yang akan diuraikan pada kesempatan ini antara lain adalah taubah, puasa, muhasabah, dan dzikrullah.

B. Taubah
Ellis dan Narramore, sebagaimana yang dikutip oleh Faiver, dkk. (2000) menyatakan bahwa kesalahan atau dosa yang telah diperbuat oleh seseorang akan menimbulkan berbagai problem kejiwaan seperti perasaan takut akan hukuman, kehi-langan rasa harga diri, dan takut ditolak. Selanjutnya Faiver, dkk. (2000) menyebutkan bahwa pengakuan (confession) dan pertobatan (atone atau forgiveness) terhadap dosa-dosa yang telah diperbuat efektif untuk mengurangi problem kejiwaan tersebut, terutama perasaan takut akan hukuman dan perasaan takut akan ditolak. Sebaliknya, jika pengakuan dan pertobatan tidak dilakukan, maka kesalahan atau dosa tersebut akan terus menimbulkan perasaan-perasaan negatif lainnya dan menjadi sesuatu perasaan yang dapat terus menerus menghukum dirinya sendiri (self-punishment).

Agama Islam memandang penyakit kejiwaan berasal dari dosa. Dosa dapat dihapus dengan cara bertobat, dengan demikian tobat dapat dipandang sebagai sebuah cara untuk mengobati penyakit kejiwaan sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah saw (Mujib, 1999: 191):
الا أعلمكم ما دواؤكم وداؤكم ؟ قالوْا : بلى يا رسول الله. فقال داؤكم الذنوب ودواؤكم التوبة
Artinya: ‘Bukankah aku telah mengajarimu apa yang disebut obat (psikoterapi) dan penyakit (psikopatologi)’. Mereka menjawab: ‘Tentu ya Rasulullah’. Beliau bersabda: ‘Penyakit itu adalah dosa, sedang obatnya adalah tobat’ (Bahasa Indonesia oleh Mujib).

Dalam agama Islam, pengakuan seseorang yang kemudian diteruskan dengan penyesalan terhadap kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang pernah diperbuatnya dinamakan taubah atau tobat. Rasulullah saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (Ahmad, 1991: 102; Al-’Athar, 1991: 607) bersabda:
النـدم تـو بـة
Artinya: Menyesal adalah tobat (Bahasa Indonesia oleh Penulis).

Dari Hadis Rasulullah saw di atas, Sahel bin Abdullah mengatakan bahwa taubah atau tobat ialah menyesali atau menarik diri dari segala perbuatan tercela dan mengubah ke arah perbuatan-perbuatan terpuji (Fathah, 1995: 2). Dalam melakukan tobat, seseorang dianjurkan mengingat semua kesalahan atau dosa-dosa yang pernah dilakukannya, mengungkapkan dan mengakuinya secara jujur dan tulus kepada Allah swt, menyesali dengan penyesalan yang dalam serta berniat dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang pernah dilakukannya, kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji.

Pertobatan akan mendatangkan perasaan lega dalam dada, apalagi jika pertobatan tersebut dilakukan dengan khusyu’ dan diiringi dengan curahan air mata. Pertobatan sebagai sebuah cara untuk menangani masalah mirip dengan teknik terapi yang disebut dengan catharsis atau abreaction dalam Psikoanalisa (Chaplin, 1997). Pada teknik catharsis atau abreaction, klien mengungkapkan kepada konselor perasaan-perasaan bersalah atau berdosanya, sedangkan konselor berusaha dengan baik untuk mendengarkan, memperhatikan, memahami, dan menerima ungkapan perasaan klien. Dengan cara demikian maka ketegangan-ketegangan yang ada dalam jiwa klien akan terkurangi, sebab perasaan yang selama ini ditekan atau dipendam sudah terungkapkan atau tersalurkan.

C. Puasa
Manusia dikategorikan mempunyai pribadi yang tidak sehat dan akan mengalami berbagai masalah apabila hati dan akalnya kurang berfungsi sehingga tidak mampu mengontrol dan mengendalikan kekuatan nafsunya yang selalu mendorong kepada kejahatan. Menurut pandangan Islam, kurang berfungsinya hati dan akal antara lain disebabkan oleh karena terlalu banyak makan dan minum, pandangan ini didasarkan pada Hadis Rasulullah saw (Muhammad, tt., 144) sebagai berikut:
لا تميت القلوب بكثرة الطعام والشراب فإن القلب كالزرع يموت اذا كثر الـماء
Artinya: Jangan kamu mematikan hatimu (pikiranmu) dengan banyak makanan dan minuman, karena sesungguhnya hati (pikiran) itu bagaikan tana-man, ia akan mati jika terlalu banyak air (Bahasa Indoneisa oleh Muhammad).

Senada dengan Hadis di atas, Luqman Al Hakim, seorang waliullah yang namanya diabadikan dalam Alquran (Muhammad, tt: 145) pernah menasihati anaknya dengan mengatakan:
يا بـنـي اذاامتلأت الـمـعدة نامت الفكرة وخرست الحكمة وقعدت الاعضاء عن العبادة
Artinya: Wahai anakku! Apabila perut besarmu terlalu penuh, maka pikiran menjadi beku, hikmah akan membisu dan anggota badan akan malas mengerjakan ibadah (Bahasa Indonesia oleh Muhammad).

Berdasarkan Hadis dan nasihat Luqman Al Hakim di atas, dapat diambil pemahaman bahwa untuk mengembalikan fungsi serta kekuatan hati dan akal agar dapat mengontrol dan mengendalikan dorongan-dorongan nafsu dapat dilakukan dengan cara mengurangi makan dan minum, sekalipun makanan dan minuman tersebut halal.

Mengurangi makan dan minum bukan berarti sekedar mengurangi jumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum, tetapi dapat dilakukan dengan cara yang mengandung unsur ibadah, yaitu ibadah puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunat -- misalnya puasa sunat pada setiap hari Senin dan hari Kamis -- yang dilakukan sesuai dengan tuntunan agama Islam.

Puasa merupakan salah satu amalan batin yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Saat melaksanakan puasa, seseorang harus mampu menahan keinginan-keinginannya, seperti keinginan untuk makan, minum, marah, keinginan nafsu seksual, dan sebagainya. Orang yang melaksanakan ibadah puasa berarti melatih dirinya untuk membimbing atau mengendalikan hawa nafsu dan menahan diri dari dorongan-dorongan naluri yang bersifat negatif, atau dalam istilah psikologi disebut self-control.

Abu Hurairah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Thabrany (dalam Wahjoetomo, 1997: 15).menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
صـومـوا تـصـحـوا
Artinya: Berpuasalah kamu, niscaya kamu sehat.

Pengertian sehat sebagai hikmah dari ibadah puasa yang dinyatakan oleh Rasulullah saw bukan sekedar mengandung pengertian sehat secara fisik/jasmani, tetapi juga mengandung pengertian sehat secara psikis/rohani.

Hasil penelitian Wahjoetomo (1997) dan Najib (1990) menyimpulkan bahwa ibadah puasa bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan fisik atau jasmani. Pada saat seseorang melaksanakan ibadah puasa, maka terjadi pengurangan jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuhnya sehingga kerja beberapa organ tubuh seperti hati, ginjal, dan lambung terkurangi. Puasa memberikan kesempatan kepada metabolisme (pencernaan) untuk beristirahat beberapa jam sehingga efektivitas fungsionalnya akan selalu normal dan semakin terjamin. Di samping memberikan kesempatan kepada metabolisme (pencernaan) untuk beristirahat beberapa jam, puasa juga memberikan kesempatan kepada otot jantung untuk memperbaiki vitalitas dan kekuatan sel-selnya.

Disamping bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan fisik atau jasmani, puasa bermanfaat pula bagi kesehatan psikis. Cott (Ancok & Suroso, 1995), seorang ahli jiwa bangsa Amerika, menyebutkan bahwa pernah dilakukan eksperimen untuk menyembuhkan gangguan kejiwaan dengan cara berpuasa. Eksperimen tersebut dilaku-kan oleh Dr. Nicolayev, seorang guru besar pada The Moscow Psychiatric Institute. Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yang sama besar baik usia maupun berat ringannya penyakit yang diderita. Kelompok pertama diberi pengobatan dengan ramuan obat-obatan, sedangkan kelompok kedua diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari. Hasil eksperimen tersebut menyimpulkan bahwa pasien-pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan terapi medik ternyata bisa disembuhkan dengan cara berpuasa, selain itu kemungkinan pasien untuk tidak kambuh lagi setelah 6 tahun kemudian ternyata tinggi dengan terapi melalui puasa. Cott juga menyebutkan bahwa penyakit susah tidur (insomnia), dan rasa rendah diri juga dapat disembuhkan dengan cara melakukan puasa.

Dari hasil penelitian tentang manfaat puasa di atas, terbukti bahwa ibadah puasa disamping bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan pisik, juga terbukti bermanfaat bagi kesehatan psikis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa puasa adalah salah satu ajaran dalam Islam yang dapat digunakan untuk membantu seseorang mengatasi masalah, terutama masalah psikis seperti susah tidur (insomnia) dan rasa rendah diri.

D. Muhasabah
Muhasabah adalah salah satu ajaran Islam yang dapat digunakan untuk membantu seseorang dalam menangani masalah. Ajaran Islam seperti yang termuat dalam Alquran dan Hadis Rasulullah saw memerintahkan supaya umat Islam selalu melakukan instropeksi dan evaluasi terhadap dirinya sendiri. Allah swt sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Hasyr ayat 18 berfirman :
ياايها الذين امنوا اتـقواالله والـتـنظر نفس ما قدمت لغد ....
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok …. (Bahasa Indonesia oleh Depag. RI, 1978: 919).

Selanjutnya Rasulullah saw (Masrur, 1999: 91) bersabda:

حاسبوا انفسكم قبل ان تحاسبوا
Artinya: Evaluasilah diri kalian sendiri sebelum kalian dievaluasi. (Bahasa Indonesia oleh Masrur).

Berdasarkan ayat 18 surah al-Hasyr dan Hadis Rasulullah saw di atas, maka setiap orang muslim dituntut untuk selalu melakukan muhasabah. Muhasabah artinya mengadakan perhitungan dan kritik, atau evaluasi oleh dirinya sendiri terhadap apa yang sudah, sedang, dan akan dikerjakannya (Jaelani, 2000). Evaluasi terhadap diri sendiri meliputi evaluasi terhadap pemanfaatan umurnya dari waktu ke waktu dan hal-hal yang telah dilakukan oleh anggota tubuhnya, termasuk oleh fikirannya, kata-katanya, dan sebagainya.

Muhasabah dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagaimana yang dianjurkan oleh Al-Ghazali (1989: 430) yang menyatakan bahwa muhasabah dapat dilakukan setiap menjelang tidur di tempat pembaringan dengan posisi terlentang. Sambil berbaring terlentang di tempat tidur, seseorang dianjurkan untuk mengenali dan memahami keterbatasan-keterbatasan yang terdapat pada dirinya sendiri, juga mengevaluasi hal-hal yang pernah ia dilakukan, apa kesalahan dan kekurangannya, dan mengapa ia berbuat begitu. Jika hal-hal yang telah diperbuatnya ditemukan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan, maka seharusnya ia berusaha memperbaiki kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan tersebut untuk diperbaiki di masa yang akan datang.

Muhasabah seperti yang dianjurkan oleh agama Islam di atas agaknya mirip dengan teknik self-observation, teknik self-evaluation, atau teknik self-criticism dalam istilah psikologi, atau teknik self-analysis dalam Psikoanalisa, yaitu suatu usaha individu untuk memahami diri sendiri, serta mengenali kelemahan atau keterbatasan dirinya (Chaplin, 1997).

E. Dzikrullah
Orang yang terganggu jiwanya, perasaannya tidak tenang, selalu gelisah, cemas, dan diliputi berbagai perasaan lain yang tidak menyenangkan. Menurut pandangan Islam, berbagai perasaan yang tidak menyenangkan tersebut dapat dihilangkan dengan cara menghadirkan rasa tuma’ninah, yaitu perasaan tenang dan tenteram yang mendalam sebagai anugerah Allah. Rasa tuma’ninah dapat dihadirkan ke dalam jiwa manusia dengan cara melakukan dzikrullah sebagaimana firman-Nya dalam surah ar-Ra’du ayat 28:
الذين امنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله الا بذكر الله تطمئن القلوب

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah, Ingatlah, dengan dzikrullah hati menjadi tenteram (Bahasa Indonesia oleh Depag. RI, 1978: 373).

Makna teks dari kata dzikrullah adalah menyebut Allah, atau mengucap nama Allah (Munawwir, 1984: 483). Dalam pengertian khusus, dzikrullah adalah memuji atau menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya, sedangkan dalam pengertian umum, dzikrullah adalah perbuatan mengingat Allah dan keagungan-Nya yang diwujudkan dengan berbagai cara yang meliputi hampir semua bentuk ibadah seperti shalat, puasa, membaca Alquran, berdoa, dan sebagainya (Ash-Shiddiqy, 1977). Dzikrullah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah dzikrullah dalam pengertian khusus, yaitu menyebut “Allah” (atau nama-nama Allah yang lain / asma’ul husna), atau mengucap kalimah tayyibah (kalimat yang baik) seperti kalimat tahlil yaitu لااله الاالله (laa ilaaha illallah), kalimat tasbih yaitu سبحان الله (subhanallah), kalimat tahmid yaitu الحمدلله (alhamdulillah), kalimat takbir yaitu الله اكبر (Allahu akbar), dan sebagainya dengan sebanyak-banyaknya.

Dalam Alquran surah al-A’raaf ayat 205 Allah swt berfirman :
واذكر ربّك في نفسك تضرّعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدوّ والاصال ولا تكن من الغافلين
Artinya: Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orag yang lalai (Bahasa Indonesia oleh Depag. RI, 1978: 256).

Surah al-A’raaf ayat 205 di atas memberikan petunjuk bagaimana seharusnya dzikrullah dilakukan. Agar perasaan tenang (tuma’ninah) dapat hadir dalam jiwa seseorang, maka seseorang dianjurkan untuk melakukan dzikrullah setiap pagi dan petang, dzikrullah diucapkan dengan suara yang lembut-halus, diresapkan dalam hati dan dihayati maknanya. Dzikrullah yang dilakukan seseorang secara terus-menerus dan dengan penuh penghayatan secara psikologis perlahan-lahan akan menimbulkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah swt, dalam alam kesadaran orang yang mengamal-kan dzikrullah akan berkembang penghayatan rasa dekat dengan Allah swt, ia seolah-olah merasakan kehadiran Allah swt dihadapannya, sehingga orang yang mengamalkan dzikrullah tidak akan merasa hidup sendirian di dunia ini karena keyakinannya bahwa ada yang Maha Mendengar segala keluh kesahnya yang mungkin saja tidak bisa diungkapkan kepada orang lain.

Sikap rendah hati dan suara lembut saat melakukan dzikrullah akan membawa dampak relaksasi dan ketenangan bagi orang yang mengamalkannya. Penelitian empiris mengenai dampak relaksasi dan ketenangan dari dzikrullah, telah dilakukan oleh Effa Naila Hady, seorang psikolog, dan juga oleh Ratna Juwita (Bastaman, 1997) seperti yang disebutkan berikut ini.

Effa Naila Hadi melakukan serangkaian wawancara mendalam mengenai motivasi, penghayatan dan manfaat melakukan dzikrullah pada sekelompok pengamal dzikrullah di Alkah Baitul Amin, Cilandak, Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para responden umumnya menghayati perasaan tenang dan merasakan bahwa kehidupan mereka lebih tenteram dan bermakna setelah mereka membiasakan diri meng-amalkan dzikrullah.

Peneliti lain, Ratna Juwita, melakukan wawancara mendalam pada responden pengamal dzikrullah di tempat yang sama dan sekaligus meneliti pengaruh ber-dzikir terhadap ketenangan yang dirasakan oleh para pengamal dzikrullah dengan mengukur denyut jantung mereka sebelum dan sesudah melakukan dzikir. Alat yang digunakan adalah Sanyo Pulse Meter model HRM-200E yang dikenal cukup akurat untuk mengukur denyut jantung. Hasil wawancara Ratna Juwita hampir sama dengan hasil wawancara yang pernah dilakukan oleh Effa Naila Hadi, di mana para responden umumnya menghayati perasaan tenang dan merasakan bahwa kehidupan mereka lebih tenteram dan bermakna setelah mereka membiasakan diri mengamalkan dzikrullah, adapun hasil pengukuran jantung menunjukkan terdapat penurunan frekuensi denyut jantung sesudah melakukan dzikrullah.

Dari dua buah hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dzik-rullah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ketenangan perasaan orang yang mengamalkannya, dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dzikrullah adalah salah satu ajaran Islam yang bermanfaat dan dapat digunakan sebagai teknik untuk membantu seseorang dalam mengatasi masalahnya, terutama masalah yang berhubungan dengan perasaan seperti tidak tenang, gelisah, cemas, dan berbagai perasaan lain yang tidak menyenangkan.

F. Penutup
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan agama Islam (taubah, puasa, muhasabah dan dzikrullah) dapat dijadikan sebagai “problem solver” dalam mengatasi berbagai problem kejiwaan manusia yang semakin lama semakin rumit dan kompleks.

Berdasarkan fakta bahwa persepsi dan konsepsi hidup orang yang beragama amat dipengaruhi oleh ajaran agamanya, dan pendapat bahwa proses konseling dan psikoterapi akan berjalan dan berhasil lebih efektif dengan mempertimbangkan nilai-nilai dan keyakinan agama klien, maka seorang konselor, psikolog, maupun psikiater disarankan untuk melakukan integrasi pespektif agama ke dalam psikologi dan psikoterapi dalam memberikan layanan bantuan terhadap kliennya.

DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, I. (1991). Musnad li al-Imam Ahmad ibnu Hanbal, juz II. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr.
Al-’Athar, S. M. J. (1991). Faharis musnad al-Imam Ahmad, juz II. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr.
Al-Ghazali. (1984). Ihya Al-Ghazali. Terjemahan Ismail Yakub. Jakarta: CV. Faizan.
Ancok, D., & Suroso, F. N. (1995). Psikologi Islami : Solusi Islam atas problem psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ash-Shiddieqy, TM. H. (1969). Tafsir al-Qur’an al-majied: An-Nur (juz XV). Jakarta: Bulan Bintang.
Badri, M. B. (1981). Psikologi Islam di lobang buaya. Terjemahan Anas Mahyudin & Endi Hardi Mahyudin. Yogyakarta: Up. Karyono.
Bastaman, H. D. (1996). Meraih hidup bermakna: Kisah pribadi dengan pengalaman tragis. Jakarta: Penerbit Paramadina.
____________. (1997). Integrasi psikologi dengan Islam: Menuju psikologi Islami. Yogyakarta: Putaka Pelajar.
Bishop, D. R. (1992). Religious values as cross-cultural issues in counseling. Counseling and Values, 36, 179-191.
Chaplin, J. P. (1997). Kamus lengkap psikologi. Terjemahan Kartini Kartono. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Departemen Agama RI., Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an (1978). Al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta:. Bumi Restu.
Faiver, C.M., O’Brien, E. M., dan Ingersoll R. E. (2000). Religion, guilt, and mental health. Journal of Conseling and Development, 78, 155-160.
Fathah, F.A. (1995). Kiat taubat melebur dosa-dosa besar. Surabaya: Terbit Terang
Genia,V. (1994). Secular psychoterapists and religious clients: Profesional considerations and recommendations. Journal of Conseling and Development, 72, 395-398.
Jaelani. A. F. (2000). Penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) & kesehatan mental. Jakarta: Amzah.
Masrur, H. A. (1999). Memahami ajaran Islam untuk membentuk pribadi muslim. Gresik: Pustaka Pelajar.
Muhajir, N. (1996). Metodologi penelitian kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Munawwir, A. W. (1984). Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir.
Najib, M. A. (1990). Pemeliharaan kesehatan dalam Islam. Terjemahan Etty Arifin. Solo: Pustaka Mantiq.
Wahjoetomo. (1997). Puasa dan kesehatan. Jakarta: Gema Insani Press.

DITULIS OLEH: HIDAYAT MA’RUF

Tidak ada komentar: