Berbicara tentang moral atau etika berarti berbicara tentang sesuatu yang bertalian dengan baik buruknya perilaku manusia. Ketika moral dikaitkan dengan subjeknya yaitu manusia, maka akan semakin terasa derajat urgensi atau kepentingannya, apalagi ketika moralitas manusia cenderung mengarah ke perilaku amoral. Perlu usaha proaktif dan inovatif untuk mengembangkan dan membentuk perilaku yang bermoral. Moral manusia tidak berkembang dengan sendirinya. Moral berkembang seiring dengan berkembangnya kemampuan biologis, psikologis dan sosial. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral baik intern maupun ekstern. Pendidikan adalah salah satu faktor ekstern yang dapat mempengaruhi perkembangan moral. Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah solusi dalam membangun moralitas manusia melalui pendidikan agama.
A. Pendahuluan
Saat ini kita sedang menghadapi persoalan yang amat pelik berupa adanya gejala semakin merosotnya moralitas dalam praktik berbangsa dan bernegara. Memin-jam istilah Bertens (1996) bahwa dewasa ini dunia menghadapi fenomena baru yakni pluralisme moral, yang sering disebut sebagai salah satu ciri khas zaman kita. Fenomena baru itu bisa timbul karena pendekatan moral yang kian dominan adalah pemikiran hak. Manakala ternyata seseorang itu berhak, maka sesuatu perbuatan atau keadaan bisa dibenarkan secara moral. Hak makin diterima sebagai justifikasi moral yang utama. Hal semacam ini tentu saja akan membuat tatanan moral menjadi kacau balau karena hukum kodrat telah dijungkirbalikkan dengan semena-mena.
Fenomena keseharian yang terjadi di masa kini khususnya di kalangan remaja, problem sosial moral itu antara lain berwujud semakin meningkatnya hubungan seks pranikah, meningkatnya perkelahian antar pelajar (tawuran), meningkatnya penyalah-gunaan narkoba, merosotnya penghargaan siswa terhadap guru dan orang tua, rendahnya kepedulian sosial. Munculnya perilaku yang meyimpang dikalangan remaja (juvenile deliquence) yang membahayakan ini, ternyata juga dilakukan oleh orang dewasa yang sebenarnya justru lebih membahayakan, tindakan pencurian dan perampokan tidak hanya dilakukan oleh orang miskin, namun banyak pula dilakukan oleh orang kaya (korupsi), kolusi, nepotisme, tindak kekerasan, terror, yang semuanya itu menggambarkan indikasi kegagalan tercapainya tujuan pendidikan.
Semakin merosot dan bobroknya moralitas masyarakat sekarang, tentu saja menimbulkan suatu pertanyaan. Bisakah pendidikan digunakan sebagai instrumen bagi upaya mengembangkan moral anak? Tentu secara teoritik jawabnya bisa. Pendidikan, yang salah satu kegiatannya terletak pada persekolahan, dalam jangka panjang, tentu dapat dimanfaatkan sebagai instrument untuk mengembangkan moral anak sebagai-mana Ballantine memiliki keyakinan bahwa sekolah dapat dijadikan sebagai tempat untuk melatih anak-anak dalam memahami nilai-nilai sosial yang penting agar tatanan sosial dapat ditegakkan. Secara lugas Ballantine (1993: 13) mengatakan:
A primary function of schools is the passing on of the knowledge and behaviors necessary to maintain order in society. Since children learn to be social beings and develop appropriate social values through contact with others, schools are an importans training ground.
Kalau memang pendidikan mampu menjadi instrumen dalam mengembangkan moral anak, mengapa pendidikan yang telah berlangsung sekian lama ini menunjukkan indikasi kegagalan dalam membangun moralitas masyarakatnya? Lantas apa kesalahan pendidikan selama ini? Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah alternatif pendidikan yang dapat mengembangkan moralitas anak.
B. Konsep dan Perkembangan Moral Anak
Dari segi etimologi, moral berasal dari kata mores (latin) yang berarti dapat kebiasaan atau cara hidup, sedangkan nilai dari kata value yang berarti harga. Nilai inilah yang dikatakan Newcomb (1985) sebagai suatu keyakinan yang mendorong seseorang untuk bertindak atas dasar pilihannya. Sedangkan Kupperman (1983) menyatakan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihannya di antara berbagai alternatif untuk bertindak. Oleh karena itu, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah psikologis meru-pakan hasil dari serangkaian proses psikis yang mengarahkan seseorang pada suatu tindakan atau perbuatan yang sesuai dengan keyakinannya.
Apa yang dimaksud dengan perkembangan moral?. Walker (1996), Walker & Pitts (1998) menyebutkan moral sebagai berikut:
Moral Development involves thoughts, feelings, and behaviors regarding standars of right and wrong. Moral development has an intrapersonal dimension (a person’s basic values and sence of self) and an interpersonal dimension (a focus on what people should do in their interactions with other people).
Adapun Santrock (2003: 380) mendefinisikan moral yaitu: “The intra-personal dimension regulates a person’s activities when she or he is not engaged in social interaction. The interpersonal dimension regulates people’s social interactions and arbitrates conflict”.
Moral Thought adalah bagaimana remaja berpikir tentang standar benar dan salah. Piaget mengatakan bahwa anak berpikir dengan dua cara yang berkaitan dengan moral, tergantung pada kematangan perkembangannya.
Heteronomous morality is the first stage of moral development in Piaget’s theory, occurring at 4 to 7 years of age. Justice and rules are conceived of as unchangeable properties of the world, removed from the control of people. Authonomous morality, the second stage of moral development in Piaget’s theory, is displayed by older children (about 10 years of age and older). The child becomes aware that rules and laws are created by people, and that, in judging an action, one should consider the actor’s inentions as well as the consequences. (Santrock, 2003: 381)
Moral Feelings adalah perasaan moral, konsep ini dikembangkan oleh psycho-analytic theorists, teknik aturan pengasuhan anak, empati, dan peran emosi dalam perkembangan moral. Moral Behavior adalah bertingkah laku secara aktual dalam keadaan tertentu dengan mempertimbangkan proses dasar munculnya tingkah laku dan altruism (mementingkan kepentingan orang lain).
Persoalan konseptual pun muncul mengenai tindakan atau tingkah laku moral (moral behavior). Apakah suatu tindakan dapat dipandang sebagai tindakan moral, jika tindakan tersebut tidak pernah dipikirkan oleh pelakunya? Banyak ahli filsafat moral ataupun mereka yang menganalisis bahasa moral, kompetensi tentang pertimbangan moral merupakan suatu keharusan (atau mungkin dipandang cukup) bagi lahirnya tindakan moral. Sebelum suatu tindakan dapat dipandang sebagai suatu tindakan moral, alasan atau motivasi si pelaku melakukan tindakan tersebut harus terlebih dahulu diuji. Sokrates bertanya, “Bilamana menyelam di sungai dapat dinilai sebagai suatu per-buatan yang berani atau perbuatan konyol?” Apabila seseorang melompat ke sungai untuk menyelamatkan seseorang yang hendak tenggelam, akan tetapi motifnya adalah untuk mendapatkan hadiah, apakah tindakan tersebut dapat dipandang sebagai tindakan moral atau tidak?
Berkenaan dengan itu, Kleinberger (1982) seorang filosof, mengidentifikasi tiga tipe dari teori etika (ethical) dalam hubungannya dengan masalah ini. Tipe pertama ialah tipe rasionalis, yaitu seorang etis murni, yang menurut Kleinberger diwakili oleh Immanuel Kant dan Kohlberg. Tipe ini memandang penalaran moral itu sebagai suatu keharus serta mencukupi bagi lahirnya suatu tindakan moral. Tipe kedua adalah tipe naturalistis, yaitu seorang etis yang bertanggung jawab yang menurut Kleinberger diwakili oleh Aristoteles dan John Dewey. Tipe ini berpandangan bahwa penalaran moral itu memang merupakan suatu keharusan, akan tetapi tidak mencukupi untuk melahirkan suatu tindakan moral. Tipe ketiga ialah tipe behavioristik sosial, yang memandang perbuatan yang lahir sejalan dengan nilai moral yang telah diterima, sebagai suatu kondisi yang mencukupi bagi lahirnya moralitas suatu tindakan atau badan (Kurtines, William M. & Jacob L. Gerwitz 1993: 89)
Dalam pandangan ini, moralitas dapat ditentukan tanpa merujuk kepada pola pikiran sang pelaku.
Salah seorang tokoh yang memperkenalkan adanya tahapan moral adalah Lawrence Kohlberg (1995) yang lekat dengan teori kognitive-developmental structural. Menurut beliau ada 3 tingkat perkembangan moral anak yang terbagi dalam enam tahap (Kurtines, William M. & Jacob L. Gerwitz 1993: 383).
Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
Adapun William McDougall memandang manusia dikukuhkan dengan naluri moral, yang secara bertingkat berkembang menurut rencana Alami. Tahapan-tahapan perkembangan moral dalam bayangan Mc Dougall ini dipandang sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan fisik, yang pada biologi di abad sembilan belas telah berkembang cukup pesat. Mengenai tahapan-tahapan perkembangan, Mc Dougall (1908) dalam Kurtines, William M. & Jacob L. Gerwitz (1993: 383) menjelaskan lebih lanjut:
Kita dapat membedakan empat tahapan perbuatan (moral), yang masing-masing dilalui setiap orang sebelum ia dapat meraih tahapan berikutnya yang lebih tinggi. Keempat tahapan tersebut ialah: (1) tahapan perilaku naluriah, yang hanya dapat dipengaruhi oleh rasa sakit dan senang yang dialami seseorang secara kebetulan, dalam rangka kegiatan naluriahnya; (2) dalam tahapan kedua ini cara beroperasinya gejolak naluriah dimodifikasi melalui pengaruh hadiah dan hukuman yang kurang lebih secara sistematis dialaminya dari lingkungan sosialnya; (3) dalam tahapan ketiga, perbuatan seseorang terutama dikendalikan oleh antisipasi akan kemungkinan mendapatkan pujian dan celaan; (4) dalam tahapan tertinggi ini perbuatan diatur oleh suatu pengaturan ideal yang memungkinkan seseorang bertindak selaran dengan apa yang dipandangnya benar, lepas dari persoalan, apakah ia akan mendapatkan pujian atau celaan dari lingkungan sosial yang terdekat”.
Berkembangnya moral seseorang dari suatu tahap ke tahap berikutnya sangat tergantung dari perkembangan fisiknya atau biologis, psikologis (kognisi dan emosi), dan sosialnya, yang disebut faktor intern. Selain itu dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan, misalnya keluarga, teman sebaya, sekolah, budaya/adat istiadat, media massa, lingkungan sosial yang disebut faktor ekstern. Faktor ekstern ini terjadi baik secara sengaja melalui proses sosialisasi, ataupun tidak sengaja melalui proses enkulturisasi dan akulturasi.
C. Pendidikan Agama: Sebuah Harapan
Ada dua istilah yang hampir sama dan sering digunakan dalam dunia pendidikan, yaitu: Paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie berarti pendidikan sedangkan paedagogiek artinya ilmu pendidikan. Paedagogiek atau ilmu pengetahuan ialah yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Istilah ini berasal dari kata Paedagogia (Yunani) berarti pergaulan dengan anak-anak. Sedangkan yang sering digunakan istilah paedagogog, yaitu seorang pelayan (bujang) pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya mem-bimbing, memimpin). (Purwanto, 1985: 1)
Dalam definisi maha luas pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendi-dikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Definisi sempit pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal (Mudyahadjo, 2001: 3-6). Definisi alternatif atau luas terbatas pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai ling-kungan hidup secara tepat di masa yang akan datang (Mudyahadjo, 2001: 11).
Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, merumuskan hakekat pendidikan sebagai usaha orang tua bagi anak-anak dengan maksud untuk menyokong ke-majuan hidupnya dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan rohani dan jasmani yang ada pada anak-anak. Pendidikan juga dimaksudkan untuk menuntun segala ke-kuatan yang ada agar masyarakat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Darmaningtyas, 1999: 4)
Zuhairini, dkk. (1982: 150) mengutip pendapat John S. Brubacher mengemu-kakan bahwa pendidikan diartikan sebagai proses timbal balik dari setiap pribadi manusia dan penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman, dan dengan alam semesta. Pendidikan merupakan pula perkembangan yang terorganisasi dan kelengka-pan dari semua potensi-potensi manusia, moral, intelektual dan jasmani (fisik), oleh dan untuk kepribadian individunya dan kegunaan masyarakatnya yang diharapkan demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujuan hidupnya (tujuan terakhir).
Sementara itu Al-Ghazali seperti yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn dalam bukunya Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan merumuskan pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahun yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggungjawab orang tua dan masyarakat menu-ju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna (Ibnu Rusn, 1998).
Dari beberapa pendapat di atas tentang pendidikan dapatlah dimengerti bahwa pendidikan meliputi semua perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta ketrampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.
Pendidikan juga merupakan salah satu usaha mengembangkan moral anak yang mencakup dua proses sengaja dan tidak sengaja. Dalam hal ini ada empat pilar pendidikan UNESCO (Delor, 1997) yang dapat dijadikan pedoman dalam mendidik moral; meliputi learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to be (belajar menjadi diri sendiri) dan learning live together (belajar hidup bersama) merupakan pijakan yang kuat bagi orang tua untuk mengajarkan dan mendidik moral anak (Andayani, 2004: 3). Dari empat pilar pendidikan tersebut maka pendidik memiliki peran penting sebaga berikuti: (1) mem-perluas wawasan pengetahuan anak tentang nilai-nilai, sehingga mereka dapat memberikan alasan-alasan moral (moral reasoning) yang tepat sebelum mereka mewujudkannya dalam tindakan; (2) membimbing anak agar terampil melakukan suatu tindakan dari apa yang diyakininya sebagai nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan; (3) mengarahkan anak agar memiliki sifat-sifat baik yang melekat, agar konsistensi, intensitas, dan frekuensi dalam melakukan hal-hal yang terpuji menjadi satu kebiasaan sebagai wujud adanya internalisasi nilai moral; (4) membimbing anak untuk selalu harmonis dengan lingkungannya, karena sebagai bagian dari masyarkaat mereka hidup selalu bersinggungan dengan orang lain. Oleh karena itu, untuk menjaga keharmonisan itu anak perlu dibiasakan untuk menampilkan perilaku-perilaku yang baik dan benar, sehingga dapat hidup bahagia bersama dengan orang yang lain tanpa merugikan.
Sejalan dengan penentuan prioritas pembangunan, lebih-lebih pada bidang material dalam rangka menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi, maka ada pema-haman yang keliru tentang pendidikan, yaitu menjejalkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bidang material itu sebanyak-banyaknya kepada anak. Kecende-rungan ini sebenarnya bertujuan baik tetapi bahan-bahan yang diberikan umumnya bersifat ekstren dari inti kepribadian manusia, sehingga pendidikan yang diberikan hanyalah bersifat pengajaran yakni usaha mengembangkan intelektualitas manusia.
Kegagalan pendidikan nasional itu disebabkan oleh penerapan konsep pen-didikan yang sedikit banyak telah mengabaikan pendidikan watak dan kemampuan bernalar atau dengan kata lain telah mengabaikan pendidikan moral. Pendidikan seharusnya tidak saja mengedepankan aspek kognisi atau mengejar target kurikulum yang bermuatan materi-materi “kognitif”, tetapi diarahkan untuk membangun watak bangsa dan “moral feeling”. Peserta didik diarahkan untuk mampu memadukan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk suatu perbuatan sehingga peserta didik akan cenderung untuk berbuat baik, bermoral mulia, disertai kemampuan untuk berinovasi, kreatif, produktif, dan mandiri (Widyana , 2004: 2).
Pendidikan nasional tidak akan berarti apa-apa kalau hanya dapat melahirkan orang-orang yang pintar, tetapi rakus dan tamak. Penumbuhan cipta, rasa dan karsa yang optimal merupakan condition sine quanon (syarat mutlak) bagi keberhasilan anak dimasa depan, karena sosok manusia di masa depan adalah sosok yang profesional, kompetitif, interdisipliner dan berbudaya.
Oleh karena itu pendidikan harus diarahkan untuk membangun kesadaran kritis peserta didik tentang berbagai hal, termasuk nilai-nilai moral, hak asasi manusia, kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Dengan demikian, peserta didik akan menyadari bahwa menyontek, tawuran, dan menganiaya orang lain itu tidak baik.
Selama ini pendidikan di Indonesia cenderung hanya memberikan sebuah pengertian saja kepada peserta didik, tanpa bisa memfasilitasi pembentukan watak. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan di Indonesia terlalu didominasi oleh lingkaran kognitif. Konsep-konsep, norma-norma, dan nilai agama serta adat isitiadat banyak dibaca dan dihapalkan saja, tetapi sedikit sekali terefleksi untuk direnungi apa sesungguhnya isi dan maknanya yang terkandung di dalamnya sehingga pengimple-mentasiannya dalam kehidupan sangat jauh. Tujuan pendidikan nasional pada dasarnya menekankan pada sistem nilai namun implementasi kurikulum di sekolah belum dapat mengakomodasi tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang dikehendaki.
Apabila implementasi sistem pendidikan tetap dibiarkan seperti itu, para peserta didik yang kelak menjadi pemimpin dan pewaris bangsa ini hanya mampu membuat pidato-pidato atau rencana-rencana yang hanya enak didengar tanpa mampu mengimplementasikannya. Nilai moral hanya sebatas imperatif saja yang tidak menyentuh pergulatan manusia sehari-hari. Mereka tidak akan mampu memadukan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk suatu perbuatan atau keputusan yang akan diambil. Mereka cenderung akan banyak bergantung pada pendapat orang lain tanpa mampu menyaringnya terlebih dahulu sehingga mereka tidak akan mampu mandiri.
Agenda pendidikan masa depan harus mulai mengutamakan pendidikan yang mampu menciptakan manusia bermoral, yaitu manusia yang mampu menggunakan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruknya sesuatu dengan berlandaskan nilai-nilai luhur, norma-norma agama, dan adat-istiadat dalam kehidupannya. Manusia yang mampu untuk berbuat baik, bermoral, disertai kemampuan untuk berinovasi, kreatif, produktif, dan mandiri. Apabila peserta didik Indonesia telah bermoral, maka mereka akan mampu mengikis ketamakan, kekasaran, kebrutalan, keangkuhan, dan ketergantungan pada orang lain. Anak-anak masa depan akan lebih beradab, bermoral dan terpuji sehingga mereka akan menjadikan manusia yang berdedikasi bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Mengingat pentingnya penanaman moral bagi peserta didik, ada beberapa usulan agenda pendidikan bermuatan moral yang harus segera direalisasikan: Pendidikan harus berdasarkan nilai-nilai agama, budaya, dan adat istiadat bangsa yang bernilai luhur. Nilai-nilai ini ditanamkan (diinternalisasikan) ke dalam diri peserta didik harus secara komprehensif dan melekat dalam setiap mata pelajaran. Dalam setiap mata pelajaran seharusnya ada pesan nilai dan moral tersebut untuk kemudian dihayati dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Islam selalu mendorong umatnya untuk menggunakan akal dan menuntut ilmu pengetahuan, agar dengan demikian mereka dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dapat menyelami hakekat alam. Islam mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu untuk mencapai tingkat takwa atau manusia yang berkepribadian muslim menghendaki adanya pendidikan. Pendidikan itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga sampai ketingkat yang dikehendaki Allah SWT. sendiri, yang sebenar-benarnya takwa, seperti firmannya dalam Surah Ali Imran: 102; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”
Tujuan pendidikan Islam yang sejalan dengan misi Islam itu sendiri, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah. Tujuan itu sama dan sebangun dengan target yang terkandung dalam tugas kenabian yang diemban oleh Rasul Allah SAW, yang terungkap dalam pernyataan beliau: “Sesung-guhnya aku diutus adalah untuk membimbing manusia mencapai akhlak yang mulia” (hadis). Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam dinilai sebagai faktor kunci dalam menentukan keberhasilan pendidikan, yang menurut pandangan Islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata kehidupan yang sejahtera di dunia dan kehidupan akhirat (Jalaluddin & Usman Said, 1994: 38).
Dengan demikian tujuan akhir pendidikan yang dikehendaki Islam adalah terbentuknya manusia yang sempurna yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa atau berkepribadian muslim. Kepribadian muslim adalah suatu istilah yang abstrak dan sulit untuk menentukan siapa dan kapan seseorang telah mencapai keadaan itu, karena penentuan siapa-siapa diantara hambanya yang mencapai kesempurnaan itu merupakan hak Allah. Namun demikian tujuan pendidikan islam adalah identik dengan tujuan hidup manusia, seperti tercantum dalam Al-Qur'an: “Dan aku (Allah) tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya menyembahKu”(QS. Adz-Dzariyat: 56). “Dan mereka tidak disuruh melainkan agar menyembah Allah dan dengan ikhlas beragama kepadanya”. (QS. Bayyinah ayat : 5) Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk menjadi hamba Allah yaitu mempercayai dan menyerahkan diri hanya kepadaNya. Kepribadian seperti inilah yang disebut kepribadian muslim (taqwa) dan ke sinilah arah dan tujuan terakhir dari pendidikan Islam
Di sini terlihat pendidikan begitu penting dalam membentuk kepribadian termasuk moral. Hal tersebut akan semakin nyata jika sekolah sebagai lembaga pendidikan berupaya menanamkan dan mengembangkan moral anak dengan melalui pendidikan agama. Namun pendidikan agama yang diajarkan di sekolah hendaknya tidak hanya berupa pemberian pengetahuan agama. Akan tetapi lebih luas daripada itu yaitu menggugah perasaan/emosi anak, sehingga nilai-nilai agama akan lebih tertanam dan dihayati oleh anak didik. Hal ini selaras dengan pendapat M. Arifin dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) bahwa pendidikan agama yang diberikan dilingkungan sekolah tidak hanya menyangkut proses belajar mengajar yang berlangsung di dalam kelas melalui intelegensia (kecerdasan otak) juga menyangkut proses internalisasi nilai-nilai agama melalui kognisi, konasi, dan emosi, baik di dalam mupun diluar kelas (Arifin, 1993: 216).
Hal tersebut berarti juga bahwa pendidikan tidak hanya menyangkut aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor. Oleh karenanya, beban tanggungjawab yang diberikan kepada guru agama lebih berat, sehingga dalam rangka terwujudnya tujuan pendidikan yang dikehandaki maka perlu adanya kerjasama antara guru agama dengan guru lain. Zakiyah Daradjat (1991: 112) dalam bukunya ilmu jiwa agama, menyatakan bahwa pendidikan agama sesungguhnya jauh lebih berat daripada pengajaran pengetahuan umum apapun. Beratnya tidak terletak pada ilmiahnya, akan tetapi pada isi dan tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan agama ditujukan kepada pembentukan sikap, pembinaan akhlak, atau dengan ringkas dikatakan pembinaan kepribadian disamping pembinaan pengetahuan agama anak. Dengan demikian pendidikan yang ditujukan kepada anak adalah secara keseluruhan atau seutuhnya, mulai dari pemberian pengetahuan, pembinaan sikap, dan pribadinya, sampai kepada pembinaan tingkah laku (akhlak) sesuai dengan ajaran agama.
Dalam agama Islam, tanggungjawab pendidikan tidak hanya terletak di pundak guru atau pendidik formal di sekolah, tetapi merupakan tanggungjawab bersa-ma antara orang tua, guru dan masyarakat. Ini berarti bahwa yang dimaksud pendidik itu adalah orang tua, guru dan orang dewasa lainnya yang harus dapat membawa anak kearah kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagaimana yang kita ketahui pendidikan tidaklah dimulai dari sekolah, akan tetapi dari rumah tangga. Sulit untuk mengabaikan peran kelurga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa bayi hingga memasuki usia sekolah memiliki lingkungan tunggal yaitu keluarga. Sejak anak dilahirkan ke dunia, mulailah ia menerima didikan-didikan dan perlakuan, mula-mula dari ibu bapaknya kemudian dari anggota keluarga lainnya yang semuanya ikut memberikan dasar-dasar pembentukan moral anak. Sehingga kebiasan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga.
Bayi yang baru lahir merupakan mahkluk yang tidak berdaya namun ia telah dibekali potensi yang bersifat bawaan yang memiliki kemampuan untuk berkembang. Kondisi ini menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan baik dan benar. Disini keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua sebagai pendidik kodrati ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Allah SWT berupa naluri orang tua. Karena naluri itu timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, sehingga moral keduanya merasa terbeban tanggungjawab untuk memelihara, mengawasi dan melindungi serta membimbing keturunan mereka.
Begitu besar fungsi dan peran orang tua sehingga ia mampu membentuk moral anak-anak mereka. Setiap bayi yang dilahirkan membawa membawa potensi beragam, namun bentuk perilaku yang akan muncul tergantung dari bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh orang tua mereka. Sehingga tepatlah kalau dikatakan pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan moral anak. Pendidikan tersebut kemudian ditambah dan disempurnakan di sekolah.
Sekolah sebagai lembanga pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka serahkan anak-anaknya ke sekolah sejalan dengan kepentingan dan masa depan anaknya. Maka dalam hal ini pengetahuan dan penentuan sekolah yang tepat bagi anak dalam rangka membentuk dan mengembangkan moral anak adalah sangat penting. Mungkin saja yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah agama, dan sebaliknya orang tua yang lain menye-kolahkan anaknya pada sekolah-sekolah umum. Yang jelas lembaga pendidikan tersebut akan memberi pengaruh dalam membentuk moral anak tersebut.
Zakiah Daradjat (1995: 129) dalam bukunya Kesehatan Mental, mengungkapkan bahwa pendidikan agama dalam sekolah penting untuk pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik, karena pendidikan agama mempunyai dua aspek terpenting. Kedua aspek tersebut adalah: (1) Aspek pertama dari pendidikan agama adalah yang ditunjukkan kepada jiwa atau pembentukan kepriba-dian. (2) Aspek kedua dari pendidikan agama itu adalah yang ditujukan kepada pikiran yaitu pengajaran agama itu sendiri.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat sejauhmana pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan moral anak. Namun demikian besar kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor yang sangat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Seperti sejauhmana perencanaan pendidikan agama yang diberikan di sekolah, kompetensi guru dalam mendidik dan ilmu pengetahuan yang dimiliki, materi yang disampaikan, fasilitas sekolah yang tersedia, kerjasama antar guru, keluarga dan masyarakat, serta lingkungan disekitarnya yang kondusif dan sebagainya.
Perbaikan proses pembelajaran dan evaluasi yang seimbang antara aspek kognitif dan afektif perlu dilakukan. Para pengajar jangan hanya menyuruh peserta didiknya untuk membaca atau mengingat-ingat pelajaran, tetapi berikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan refleksi, untuk merenungi apa sesungguhnya yang telah dibaca dan dipelajari tersebut, dan mendorong mereka mengimplementasi-kannya dalam kehidupan. Hasil evaluasi peserta didik yang tercantum dalam rapor juga harus mempertimbangkan unsur nilai dan moral. Memang masih sulit tampaknya untuk menentukan seberapa besar nilai moral yang dimiliki peserta didik. Akan tetapi, hal itu dapat dibuat indikator yang disepakati bersama antara lembaga penyelenggara pen-didikan, keluarga, dan masyarakat.
Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk belajar, bahkan saat pendidik sedang mencoba mengajar mereka. Masalah “watak, penjelasan nilai-nilai, dan perkembangan akhlak”, selama ini terlalu sering disajikan sebagai jalur satu arah, anak harus mendengar sebagaimana sebaiknya dan harus menangkap maksud tersebut. Paradigma ini mulai sekarang saatnya dirubah. Dalam situasi keluarga maupun dalam ruang kelas, anak-anak dilibatkan dalam percakapan, saling menanggapi dan saling belajar (Coles, R., 2000).
Lebih dari itu sekolah sebagai penyelenggara pendidikan formal diharapkan mampu mengubah sistem pengajaran yang lebih menekankan pada aspek kognitif, ke sistem pengajaran yang seimbang antara kognitif, afektif dan psikomotor. Perpaduan ketiga aspek tersebut akan memberikan bekal kepada siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penggarapan aspek afektif (sikap, minat, sistem nilai, apresiasi, motivasi, harga diri) akan berdampak positif terhadap perilaku anak didik.
Selain sekolah, masyarakat juga merupakan lapangan pendidikan yang turut mempengaruhi perkembangan anak didik. Corak ragam pendidikan yang dialami anak dalam masyarakat banyak sekali yang meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengetahuan, sikap dan minat, pembentukan kesu-silaan, nilai-nilai dan keagamaan.
Keserasian ketiga lapangan pendidikan yakni keluarga, sekolah dan masyarakat akan membawa dampak yang positif terhadap perkembangan moral anak. Disini-lah terlihat hubungan yang erat antara tiga lingkungan pendidikan tersebut. anak yang dibesarkan dalam lingkungan masyarakat santri tentu akan lebih membawa pengaruh terhadap perkembangan moral anak dibanding lingkungan masyarakat lainnya.
Selanjutnya kegiatan pendidikan yang dilaksanakan dalam upaya mengem-bangkan moral anak akan lebih mudah terwujud apabila seseorang pendidik menyadari bahwa ia harus mampu menjadi teladan yang ideal bagi anak didiknya baik dalam perkataan, tingkah laku dan perbuatannya, disamping itu hendaknya mampu meng-amalkan ilmunya, agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya. Hal yang sama dikemukakan oleh Umar Hasyim (1991: 159) mengutip pendapat Amru bin ’Atabah dalam bukunya cara mendidik anak dalam Islam, bahwa hendaklah tuntutan perbaikan bagi anak-anak, dimulai dari perbaikan anda terhadap diri sendiri. Karena mata dan perhatian mereka selalu terikat kepada anda. Mereka menganggap baik segala yang anda kerjakan, dan mereka menganggap jelek segala yang anda jauhi.
Peserta didik harus mendapatkan contoh atau keteladanan dari nilai-nilai pendidikan yang diterimanya dalam lingkungan tempat mereka berada. Tidak adalagi jarak antara apa yang dipelajari di sekolah dan realitas kehidupan di dalam keluarga dan masyarakat. Terlebih lagi waktu keberadaan mereka di sekolah sangat terbatas, sedang-kan waktu mereka berada di lingkungan keluarga dan masyarakat sangat banyak. Sekolah dan lingkungan masyarakat harus saling mengisi dalam pendidikan ini.
Pemberian contoh dan teladan dari pendidik tentang penerapan moral dalam kehidupan nyata sangat diperlukan. Peserta didik tidak hanya dijejali dan diperkenalkan konsep-konsep moral, sedangkakan pendidiknya tanpa merasa bersalah dan tanpa sadar telah menjerumuskan anak diriknya dengan perilaku-perilaku ‘amoral’ yang dilakukan dan ditunjukkan kepada anak didik. Teori behavioris khususnya teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura yang memfokuskan pada perilaku aktual anak-anak, seperti berbohong, mencuri, membantu orang dan sebagainya. Munculnya berbagai perilaku anak merupakan hasil modeling dari tingkah laku yang dilakukan oleh orang disekitarnya, keluarga, guru, teman sebaya, media masa dan lingkungan masyarakat.
Dalam kaitan ini Allah SWT, dalam surah al-Baqarah: 44 dengan tegas menyatakan; “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (taurat)? Maka tidakkah kamu berfikir ?”
Jadi melalui pendidikan agama kita dapat mengembangkan moral anak dan akhirnya dimana segala sikap, tindakan, perbuatan, dan perkataannya akan dikendalikan oleh pribadi yang terbina didalamnya nilai agama, yang akan menjadi pengendali perbuatannya. Dengan pengembangan moral melalui pendidikan maka akan tercipta suatu manifestasi riil dan tercermin dalam perilaku. Sayyid Sabiq (1981: 52) dalam bukunya Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, mengatakan bahwa orang yang berpegang teguh pada agama, senantiasa menjaga hatinya untuk tidak menuruti hawa nafsu, senantiasa cenderung terhadap sesuatu yang diridahi Tuhan; bersih dari noda dan dapat membawa dirinya kepada lebih takwa. Lebih jauh Zakiyah Daradjat (1977: 15) dalam bukunya Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia berpendapat bahwa apabila keyakinan beragama itu betul-betul telah menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang, maka keyakinan itulah yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama sangat perlu dan penting diberikan kepada anak dalam rangka mengembangkan moral
D. Penutup
Sekarang merupakan saat yang tepat untuk memulai memformat kembali pola pendidikan yang sudah berjalan. Rencana dan realisasinya bukan semata-mata beroritentasi pada materi pelajaran dan kognisi, melainkan juga perhatian dan stimulasi terhadap asfek non kongnisi antara lain berupa, kecerdasan moral, emosi dan spiritual.
Pendidikan agama yang diberikan kepada anak hendaklah secara keseluruhan atau seutuhnya, mulai dari pemberian pengetahuan, pembinaan, sikap, dan kepribadi-annya sampai kepada pembinaan tingkah laku (akhlak) sesuai dengan ajaran agama. Dengan pendidikan agama ini diharapkan tercipta suatu menifestasi riil yang tercermin dalam perilaku bermoral. Agama menjadi kepribadian anak dimana segala sikap, tindakan, perbuatan, dan perkataannya akan dikendalikan oleh pribadi yang terbina didalamnya nilai agama, yang akan menjadi pengendali perbuatannya. Inilah yang dinamakan insan yang bertaqwa.
DAFTAR RUJUKAN
Andayani, Tri Rezeki. (2004). “Moral, Tak Hanya Sebuah Nilai” Makalah Seminar Nasional, Yogyakarta, 4 September.
Arifin. (1993). Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). , Jakarta: Bumi Aksara.
Ballantine, J. (1993). The Sociology of Education, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Coles, R. (2000). Menumbuhkan Kecerdasan Moral Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Crain, W. (1992). Theories of Development: Consepts and Applications. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Daradjat, Zakiyah. (1977). Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
_______________. (1991). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang
_______________. (1995). Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.
Darmaningtyas. (1999). Pendidikan Pada dan Setelah Krisis (Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI., 1983/1984, Qur’an dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, Pelita III
Hasyim, Umar. (1991). Cara Mendidik Anak Dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu.
Ibnu Rusn, Abidin (1998). Pemikiran Al-Gazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalaluddin & Usman Said. (1994). Filsafat Pendidikan Islam : Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kupperman, JJ., (1983). The Foundation of Morality. London: George Allen & Unwin
Kurtines, William M. & Jacob L. Gerwitz. (1993). Moralitas Perilaku Moral, dan Perkembangan Mora (Penerjemah M.I Soelaeman), Jakarta: Universitas Indonesia Press
Lickona, Thomas. (1976). Moral Development and Behavior: Theory, Reseach, and Social Issues. New York: Holt, Rinehart and Winston
Miller, Patricia H. (1993). Theories of Development Psychology, New York: W.H. Freeman and Company.
Mudyahadjo, Redja, (2001). Pengantar Pendidikan : Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Radja Grafindo Persada
Newcomb, T., (1985). Psikologi Ssosial (penerjemah: Joesoef Noorjirwan, dkk). Bandung: CV. Diponegoro
Purwanto, M.Ngalim, (1985.Ilmu Pendidikan-Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Karya.
Sabiq, Sayyid (1981), Unsur-unsur Dinamika dalam Islam. Jakarta:
Santrock, John W. (2003). Adolescence, 9th editon, New York: McGraw Hill Companies, Inc
Widyana, Rahma. (2004). “Menatap Pendidikan Moral Masa Depan” Makalah Seminar Nasional Yogyakarta, 4 September 2004
Zuhairini, dkk. (1992). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
DITULIS OLEH: HALIMATUS SAKDIAH (Alumnus mahasiswa Program Pascasarjana, Program Magister Psikologi Perkembangan. Universitas Padjadjaran Bandung)
1 komentar:
tulisannya membuka wawasan saya pa. jazakallah
Posting Komentar